Selasa, Juni 02, 2009

HIV/AIDS PAPUA .by detius yoman,S.Sos

HIV/AIDS PAPUA .by detius yoman,S.Sos

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Permasalahan mendasar yang dihadapi oleh Provinsi Papua yang perlu diselesaikan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun mendatang yaitu dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 antara lain adalah adanya tuntutan peningkatan keadilan social dan ekonomi serta pendekatan pembangunan yang kurang tepat karena kurang mendasar pada karakterisitik lokal dan hak-hak ulayat masyarakat setempat sehingga pembangunan masih kurang memberikan manfaat yang optimal.

Sejalan dengan itu Dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004 dikemukakan tujuan dan sasaran pembangunan nasional. Salah satu tujuan dan sasaran Propenas tersebut antara lain menyebutkan adanya perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan semakin meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberikan perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

Untuk menjawab permasalahan serta amanat tujuan dan sasaran Propenas dimaksud maka salah satu strategi pembangunan yang dapat dipakai antara lain pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang ditujukan pada terciptanya keseimbangan dan kelstarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Salah satu bentuk nyata dalam penerapan strategi tersebut yaitu, pada tataran implementasi pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup sudah seharusnya membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat adat untuk turut mengakses dan berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui menghargaan terhadap nilai-nilai local yang ada.

Dewasa ini di Provinsi Papua terdapat beberapa kecenderungan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang sangat mempengaruhi kualitas lingkungan. Kondisi ini diperlihatkan melalui semakin meningkatnya eksploitasi pemilik modal kuat terhadap sumberdaya alam, interaksi antara masyarakat adat/ pemilik ulayat dengan lahan dan sumberdaya hutan serta berbagai respon pemerintah Provinsi Papua dalam menanggapi berbagai perubahan ini melalui dikeluarkannya berbagai produk hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Provinsi Papua.

Dalam upaya memulihkan kualitas lingkungan yang semakin menurun perlu di Provinsi ini sudah barang tentu membutuhkan analisis yang mendalam terhadap setiap proses pengambilan keputusan bagi kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Salah satu piranti (alat) yang dapat membantu setiap proses pengambilan keputusan adalah Status lingkungan hidup (SoER).

  1. Isu-isu Utama Lingkungan Hidup

Provinsi Papua terletak di kawasan timur Indonesia tepatnya pada kordinat 1o. 11’.00’’ sampai dengan 10o.45’.00’’ Lintang Selatan dan 129o.30’.00’’ sampai dengan 141o.01’.10’’ Bujur Timur, dengan luas daerah administrasi mencapai 421.981 Km2 atau hampir 22% dari luas seluruh negara kesatuan Republik Indonesia.

Isu utama lingkungan hidup di Provinsi Papua yang selama ini dinilai sangat terkait dengan sensitifitas perubahan lingkungan alam dan lingkungan sosial meliputi:

    1. Isu Utama Bidang Pertambangan

Isu-isu utama di bidang pertambangan umum di Provinsi Papua adalah:

    • Terhambatnya reklamasi lahan pasca pertambangan.
    • Tidak terciptanya Kegiatan-kegiatan ekonomi konservasi yang dapat mengalihkan perhatian masyarakat semata-mata pada pemanfaatan Galian C.
    • Lemahnya Penegakkan peraturan yang berkaitan dengan sector pertambangan terutama yang berhubungan dengan masalah konservasi dan lingkungan hidup.
    • Penyelesaian serta pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal pemilik lahan yang berlarut-larut.

    1. Isu Utama Kehutanan

Kerusakan hutan memberikan pengertian kepada kita bahwa hutan saat ini tidak lagi berfungsi sesuai peruntukannya. Kondisi kerusakan hutan di Papua disebabkan praktek-praktek ilegal logging, serta kebakaran hutan. Aktifitas ilegal logging antara lain pencurian kayu dalam kawasan lindung. Adapun Isu-isu tentang kehutanan secara umum di Papua meliputi:

    • Tidak terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi konservasi yang dapat mengalihkan perhatian masyarakat semata-mata pada pemanfaatan sumberdaya hutan.
    • Lemahnya persepsi dan kerjasama Peningkatkan serta tanggungjawab semua stakeholders dalam konservasi sumberdaya hutan.
    • Belum tersosialisasinya kegiatan-kegiatan yang dapat menekan terjadi deforestasi, serta kurangnya memperkenalkan usaha-usaha penghutanan kembali.
    • Effektifitas dan effisiensi pelaksanaan Reboisasi.
    • Kurangnya pengawasan serta lemahnya Pengendalian terhadap kegiatan logging.
    • Lemahnya Penegakkan peraturan yang berkaitan dengan sector kehutanan terutama yang berhubungan dengan masalah konservasi.
    • Pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan deforestasi belum terlaksana secara terpadu.
    • Kebakaran hutan terus berlangsung saat ini.

Selain itu lebih spesifik lagi beberapa Isu pokok yang berkaitan dengan kawasan lindung di Provinsi Papua dapat dilihat sebagai berikut:

    • Belum terealisasinya sistem kawasan lindung terpadu yang mewakili semua habitat daratan dan lautan utama, masing-masing mencapai 10 % dari luas daratan.
    • Belum adanya kajian yang mendalam tentang rencana dan realisasi program pelestarian ex-situ di kawasan lindung untuk mempertahankan Keanekaragaman Hayati dengan tujuan memperoleh Rancang Tindak pada tahun 2003.
    • Keterlibatan kerjasama antara PHPA, LSM, masyarakat lokal dan Pemerintah daerah dalam program pelestarian dan pembangunan berkelanjutan secara terpadu, mencakup terutama pengelolaan yang terkait pembangunan daerah serta penggalangan dana bagi pengelolaan kawasan lindung.
    • Pola-pola pengelolaan bagi hutan lindung dan kawasan hutan rawa atau lahan basah yang dapat meningkatkan pengelolaan keanekaragaman hayati.
    • Peningkatan partisipasi masyarakat terhadap kawasan perlindungan melalui proyek daerah penyanggah yang melibatkan masyarakat setempat serta LSM dalam pengelolaan keputusan.

Dan juga berbagai isu bidang kehutanan yang terkait dengan Isu-isu keanekaragaman hayati di Papua meliputi belum terlaksananya secara effektif :

    • Pemantapan kawasan suaka.
    • Konservasi spesies endemik/langka diluarkawasan.
    • Pemanfaatan keanekaragaman hayati (terutama spesiesdengan nilai ekonomi atau budaya).
    • Peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian.
    • Peningkatan kegiatan konservasi jenis.
    • Studi keanekaragaman hayati.
    • Ancaman invasive spesies.




    1. Isu Utama Bidang Perhubungan dan Transportasi

Dibidang perhubungan dan transportasi merupakan salah satu isu utama di Provinsi Papua, dimana berbagai pembangunan sarana dan prasarana perhubungan darat, laut dan udara diupayakan di wilayah Provinsi Papua. Pembangunan sarana dan prasarana di Provinsi Papua dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada pembangunan berwawasan lingkungan.

Untuk itu isu utama di bidang perhubungan dan transportasi adalah:

    • Lemahnya kordinasi Pembangunan prasarana jalan darat yang melintasi kawasan lindung diantara instansi terkait.
    • Pembangunan prasarana dermaga dan pelabuhan yang merubah garis pantai.
    • Pembangunan bandara udara dan perpanjangan lintasan bandara yang kurang memperhatikan bentang lahan yang ada.




    1. Isu Utama Bidang Kesehatan

Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumberdaya manusia, sehingga upaya pencapaian derajat kesehatan secara optimal bagi setiap warga masyarakat terus digalakan di seluruh wilayah Provinsi Papua.

Pengembangan kesehatan masyarakat di daerah Papua dapat dilakukan apabila diketahui situasi dan permasalahan pelayanan kesehatan di Papua. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian dan evaluasi kritis terhadap situasi pelayanan kesehatan masyarakat di Papua, yang meluputi:

    • Lemahnya kondisi pelayanan kesehatan dasar bagi kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, termasuk mereka yang rentan dan marginal.
    • Gangguan ancaman kesehatan baik akibat penyakit menular.
    • Gangguan penyakit-penyakit parasit di daerah Papua.
    • Kecenderungan berkembangnya penyakit-penyakit baru (misalnya, HIV, dan lain-lain).
    • Kemungkinan menurunnya kualitas lingkungan permukiman di perkotaan, khususnya di lingkungan perkampungan kumuh kota.
    • Kemungkinan meningkatnya berbagai bentuk pencemaran di daerah perkotaan, khususnya yang berdekatan dengan daerah industri.
    • Pemanfaatan system pelayanan kesehatan local atau tradisional.
    • Pelayanan kesehatan dasar yang ada.
    • Tenaga pelayanan kesehatan yang ada.

    1. Isu Utama Bidang Pendidikan

Kondisi pendidikan merupakan masalah utama yang dihadapi di daerah ini. Adapun Isu-isu di bidang pendidikan meliputi:

    • Jumlah dan ketersediaan sekolah yang sangat terbatas.
    • Subsidi dan pembagian SPP sangat terbatas.
    • Insentive terhadap guru-guru yang bertugas di daerah pedalaman atau terpencil masih dibawah kebutuhan standart.




BAB II

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

  1. Visi

“Terlaksananya satu sistem manajemen sumberdaya alam dan lingkungan hidup demi menjamin kelestarian lingkungan hidup yang merupakan hak dan kewajiban serta cerminan harga diri masyarakat Papua”.

Visi ini merupakan refleksi dari tatanan budaya dan perilaku masyarakat Papua yang memilki hubungan interaksi yang sangat erat dengan alam sekitarnya. Alam memberikan kehidupan bagi umat manusia, dengan demikian alam harus dikelola secara arif demi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang, karena hal tersebut berkaitan dengan jatidiri maupun harga diri. Oleh sebab itu keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan berbagai upaya pencapaiannya sebenarnya telah dilakukan dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Papua yang pada era perkembangan dan modernisasi saat ini cenderung semakin memudar.

Usaha menumbuhkembalikan tradisi pelestarian lingkungan tersebut merupakan hal yang harus ditempuh demi mengangkat harkat dan harga diri masyarakat. Lingkungan lestari merupakan penghargaan terhadap tradisi dan budaya serta harga diri yang diharapkan akan dilakukan sendiri oleh masyarakat, dunia usaha dan industri, serta seluruh komponen masyarakat dengan bantuan, arahan dan bimbingan dari pemerintah.

Asumsi dasar dari pencanangan visi ini adalah Pada tahun 2005 sesuai peran yang dimainkan oleh pemerintah untuk menciptakan kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang kuat gunua mewujudkan masyarakat Papua menjadi tuan dinegeri sendiri. Salah satu ciri dari masyarakat Papua yang menjadi tuan dinegeri sendiri tercermin dari eksistensi jatidiri dan hargadirinya.

Peran pemerintah dimaksud dilakukan dengan menciptakan suatu manajemen pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan menumbuhkembangkan sikap dan gaya hidup seluruh masyarakat yang berdomisili di wilayah propinsi Papua termasuk aparat pemerintah, dunia usaha dan industri, masyarakat adat dan komponen lainnya dengan menjunjung tinggi tradisi dan budaya pelestarian dan penghargaan terhadap lingkungan hidup. Apabila tradisi ini menjadi pola dan gaya hidup seluruh komponen masyarakat maka keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Papua dapat dikendalikan dan dikembangkan sesuai prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

  1. Misi
    1. Mengembangkan pola kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang melibatkan berbagai komponen pelaku pembangunan di Papua dengan tetap mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
    3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi pelaksanaan otonomi khusus Papua.
    4. Meningkatkan partisipasi dan keterbukaan informasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi masyarakat luas.
    5. Mengembangkan penataan hukum lingkungan hidup, pembinaan penaatan hukum serta penegakan hukum lingkungan hidup dengan sungguh-sungguh memperhatikan nilai, norma dan adat istiadat masyarakat lokal.
  1. Strategi
    1. Optimalisasi peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara efektif.
    2. Sinergisme aktifitas lintas sektor, lintas fungsi, lintas peran, interkoneksitas dari semua stakeholders dalam skala lokal, regional, nasional dan global.
    3. Optimalisasi sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah secara terpadu dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi dan preservasi sesuai asas-asas pembangunan berkelanjutan.
    4. Internalisasi isu-isu dan tuntutan perkembangan global dengan mengedepankan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup propinsi Papua yang memiliki posisi tawar yang kuat.
    5. Pemberdayaan perangkat hukum pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.



  1. Tujuan:
    1. Menciptakan pembangunan di Provinsi Papua yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
    2. Meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumberdaya alam hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
    3. Melakukan perlindungan keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting dalam pengelolaan kawasan lindung.
    4. Mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
    5. Menciptakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berbasis pada masyarakat adat.
    6. Melindungi negara dari ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan oleh negara lain.

  1. Sasaran

Sasaran pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua meliputi:

    1. Terwujudnya manajemen sistem informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang efisien yang mampu mengembangkan akses data dan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
    2. Terwujudnya tatanan kelembagaan yang meliputi struktur, kultur, dan sumberdaya manusia pengelola dengan mengefekktifkan fungsi penegakan hukum secara kualitas maupun kuantitas.
    3. Meningkatnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang mencakup perumusan kebijaksanaan, perencanaan, pengendalian, serta pengawasan.
    4. Meningkatnya efektivitas pengelolaan sumberdaya alam, konservasi, reboisasi, dan penataan ruang.
    5. Meningkatnya efektivitas pencegahan dan pengendalian kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup.

  1. Kebijaksanaan dan Program Strategis
  1. Kebijaksanaan Tata Ruang

Kebijaksanaan pembangunan penataan ruang diharapkan pada :

    • Penataan ruang daerah dilakukan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang Provinsi Papua yang terpadu, serasi dan optimal sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan.
    • Tersusunnya rencana detail tata ruang untuk kawasan dengan tingkat pertumbuhan cepat, dan pusat perkotaan di Provinsi Papua.
    • Penyebar luasan dan sosialisasi rencana tata ruang wilayah Provinsi Papua maupun rancana detail tata ruang di tingkay Kabupaten dan kota.
    • Terwujudnya konsistensi pelaksanaan pembangunan dengan rencana tata ruang.
    • Penerapan pendekatan ekoregion dalam penentuan blok pemanfaatan ruang.

  1. Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

Kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di Provinsi Papua adalah menjawab lima isu strategis. Kebijaksanaan dimaksud selanjutnya akan ditindaklanjuti secara operasional melalui lima program strategis. Kebijaksanaan ini merupakan perwujudan dan kebijaksanaan satu pintu dalam mekanisme desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang secara fungsional merupakan matarantai yang sinergi antara mekanisme top down dan bottom up . Kebijaksanaan dimaksud disebut “Tri Karya Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup”, meliputi:

    • Pengembangan Sistem Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
    • Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Pengelola Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
    • Peningkatan Kualitas Pengendalian, Pemanfaatan, dan Pemulihan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
  1. Program Strategis
      1. Program pengembangan akses data dan informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
      2. Program penataan kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum lingkungan.
      3. Program peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
      4. Program efektifitas pengelolaan sumberdaya alam, konservasi, reboisasi, dan penataan ruang.
      5. Program pencegahan dan pengendalian kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup.
  1. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan diukur dari prakiraan terhadap pencapaian program strategis, sehingga dapat menjawab seberapa besar perwujudan dari visi, misi, tujuan, dan sasaran dari berbagai upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup Provinsi Papua meliputi:

1. Program pengembangan akses data dan informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat dicapai jika:

    • Aspek perencanaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat dilakukan secara efisien dengan berbagai pendekatan, terutama melalui pendekatan partisipatif.
    • Data dan informasi mengenai potensi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat terakses secara efektif.
    • Kinerja pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dari semua aktor yang mengeksploitasi sumberdaya alam dapat dievaluasi secara efektif.
    • Tersedianya sarana dan peralatan yang memadai.

      1. Program penataan kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum lingkungan dapat dicapai jika:
        • Meningkatnya penaatan terhadap hukum lingkungan.
        • Semakin efektifnya jaringan kelembagaan serta meningkatnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
        • Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
        • Meningkatnya efektivitas struktur, kultur, dan fungsi kelembagaan pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
        • Tersedianya peraturan pelaksanaan dan penegakannya serta kuatnya institusi penegak hukum lingkungan.
        • Pengakuan maupun masuknya lembaga adat lokal dalam status kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam.
        • Meningkatnya kontrol masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

3. Program peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup, dapat dicapai jika:

    • Meningkatnya pembinaan terhadap ekonomi konservasi masyarakat pesisir, laut, dan daerah penyangga.
    • Meningkatnya jumlah anggota masyarakat yang peduli dan mampu mengelola sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
    • Meningkatnya kapasitas masyarakat lokal (adat) dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
    • Meningkatnya kerjasama kemitraan dengan semua stakeholders.
    • Pengakuan terhadap hak adat dan ulayat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
    • Meningkatnya pemasyarakatan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
    • Meningkatnya pemanfaatan kearifan tradisional dalam pemeliharaan lingkungan hidup.
    • Meningkatnya kepatuhan dunia usaha dan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan dan sistem tata nilai masyarakat lokal yang berwawasan lingkungan.

  1. Program efektifitas pengelolaan sumberdaya alam, konservasi, reboisasi, dan penataan ruang, dapat dicapai jika:
    • Terkendalinya spesies eksotik dan invasif.
    • Meningkatnya pengelolaan pesisir, laut, dan danau binaan.
    • Meningkatnya pengendalian dan pemulihan gulma air danau dan sungai.
    • Terlaksananya kajian kembali terhadap kebijakan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam.
    • Meningkatnya pengendalian terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dan sumberdaya air dengan pendekatan daerah aliran sungai dalam rangka penataan ruang.
    • Tercapainya pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan serta lahan kritis, wilayah pesisir, dan laut bekas pengelolaan sumberdaya alam.
    • Meningkatnya pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati darat dan perairan.
    • Berkembangnya jasa pariwisata yang berwawasan lingkungan.
    • Semakin efektifnya kinerja Komisi Penilai AMDAL Daerah.
    • Tertatanya indeks dan baku mutu lingkungan.
    • Berkembangnya teknologi tradisional yang ramah lingkungan.
    • Terintegrasinya biaya lingkungan terhadap biaya produksi.
    • Terkendalinya pencemaran air, tanah, udara, dan laut.
    • Meningkatnya efektivitas pengawasan dan evaluasi standar mutu lingkungan.

5. Program pencegahan dan pengendalian kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup, dapat dicapai jika:

    • Semakin efektifnya kinerja Komisi Penilai AMDAL Daerah.
    • Tertatanya indeks dan baku mutu lingkungan.
    • Berkembangnya teknologi tradisional yang ramah lingkungan.
    • Terintegrasinya biaya lingkungan terhadap biaya produksi.
    • Terkendalinya pencemaran air, tanah, udara, dan laut.
    • Meningkatnya efektivitas pengawasan dan evaluasi standar mutu lingkungan.

BAB III

ANALISIS LINGKUNGAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN

          1. Bidang Pertambangan

Pertambangan di Provinsi Papua khususnya pertambangan umum diperoleh keterangan terdapat 1 (satu) perusahaan yang masih melaksanakan eksploitasi yaitu PT. Freeport Indonesia Company dengan bahan galian berupa tembaga dan mineral pengikut lainnya, sedangkan beberapa perusahaan seperti PT. Nabire Bakti Mining dan PT. Siriwo Mining dengan bahan galian berupa emas telah mengalami stagnasi. Di Kawasan Teluk Bintuni telah dicanangkan beroperasinya perusahaan raksasa BP yang melakukan eksploitasi terhadap gas alam cair.

Selanjutnya terdapat 13 perusahaan pertambangan umum yang mengalami penundaan eksploitasi dan 2 (dua) pertambangan batu bara yang masih dalam proses penyelidikan umum yaitu PT. Karunia Poladaya Bumi dan PT. Persada Permata Mulia. Pertambangan umum lainnya yang turut mendukung terjadinya perubahan-perubahan bentang alam dan lingkungan secara signifikan yaitu pertambangan galian C. Penyebaran pertambangan ini hampir terdapat di seluruh Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Papua.

Gambar berikut ini menunjukkan jumlah Galian C yang beroperasi di Provinsi Papua:

Gambar III-1 Diagram Galian C Di Provinsi Papua

Adapun tekanan-tekanan terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas bidang pertambangan umum dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan gejala-gejala peningkatan kerusakan terutama yang dilakukan oleh pertambangan galian C. Adapun 139 perusahaan galian C diatas secara keseluruhan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan (UKL/UPL).

Hal ini menjadi kendala bagi proses pemantauan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta itu sendiri. Beberapa kegiatan pertambangan umum yang memberikan dampak terhadap lingkungan berupa kegiatan penggalian dan pengangangkutan dimana pada saat kegiatan penggalian sering terjadi perubahan bentang alam, gangguan terhadap hidrologi, erosi dan pelumpuran serta sedimentasi, menurunnya kualitas air, debu penggalian, kebisingan serta gelombang kejutan saat peledakan. Sedangkan pada aktifitas pengankutan bahan galian dapat mengakibatkan debu dan kebisingan lalulintas.

Kondisi di Provinsi Papua yang terjadi akibat pertambangan umum PT. Freeport Indonesia menunjukkan bahwa terdapat limbah tailing yang dihasilkan oleh Pertambangan Tembaga dan mineral ikutan yang terjadi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua.

Tailing merupakan limbah pemrosesan batuan mengandung konsentrat mineral berharga (emas, perak dan tembaga) berupa pasir sisa yang dibuang ke badan air (sungai Agawagon) sekitar mil 74 dan akan bertemu sungai Otomona disekitar mil 50 dan bertemu sungai Ajkwa pada mil 32-34 tepatnya di Otomona Brige. Selanjutnya Tailing tersedimentasi (terendapkan) di Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA).

PTFI memnafaatkan sistem aliran sungai Aghawagon, Otomona dan Ajwa untuk mengalirkan tailing ke DPA yang berada di dataran rendah. Secara alamiah sistem ini telah membawa sedimen yang tinggi yang disebabkan oleh curah hujan yang besar dan terain (medan) yang curam.

Daerah Pengendapan Ajkwa dimulai dari Otomona Bridge dan dibatasi oleh tanggul barat dan tanggul timur. Tanggul barat dan tanggul timur berfungsi untuk menjaga agar sedimentasi tailing tetap berada pada titik fokus dan tidak melakukan gerakan lateral (kesamping) yang dapat mengancam Kota Timika disebelah Barat dan Taman Nasional Lorentz disebalah timurnya. Distribusi Tailing menunjukkan 60% mengendap di atas tanggul, 35% mengendap di daerah rawa gambut dan 5% tailing tertinggal dan terbawa ke Muara Ajkwa dan laut Arafura.

PT. Freeport Indonesia termasuk dalam daftar Tabel 2. daftar limbah B3 dari sumber yang spesifik Kode Limbah D222 Kode Kegiatan 1320 dan 1020 asal/uraian limbah sludge pertambangan terkontaminasi tailling. Tailing yang dihasilkan oleh PT. Freeport Indonesia telah menjalan prosedur penentuan B3. Berbicara B3 maka penentuan dilakukan dengan melakukan serangkaian pengujian. Pengujian pertama adalah pengujian sifat racun dari limbah tersebut yaitu dengan melakukan Uji karakterisistik (Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 Pasal 8 ayat (3)), dilanjutkan Uji toksikologi dengan prosedur TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure).

Disisi lain Peraturan Pemerintah 85 Tahun 1999 Pasal 7 ayat 4 disebutkan penentuan akut limbah dilakukan dengan uji hayati untuk mengukur hubungan dosis respons antara limbah dengan kematian hewan uji untuk menentukan nilai LD 50 (Lethal Dose fifty). LD 50 adalah dosis limbah yang menghasilkan 50% respon kematian pada populasi hewan uji. Apabila nilai LD 50 secara oral lebih besar dari 50 mg/kg berat badan maka terhadap limbah yang mengadung salah satu zat pencemar dilakukan evaluasi sifat kronis. Faktor-faktor pembatas yang dijadikan penentuan limbah B3 atas dasar sifat kronis limbah (toksis, mutagenik, karsinogenik, teratogenik dan lain-lain) adalah:

  • Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar;
  • Konsentrasi dari zat pencemar;
  • Potensi bermigrasi atau berpindahnya zat pencemar dari limbah ke lingkungan bilamana tidak dikelola dengan baik;
  • Sifat presisten zat pencemar atau produk degradasi racun pada zat pencemar;
  • Potensi dari zat pencemar dan turunan/degradasi produk senyawa toksis untuk berubah menjadi tidak berbahaya;
  • Tingkat dimana zat pencemar atau produk degradasi zat pencemar terbioakumulasi di ekosistem;
  • Jenis limbah yang tidak dikelola sesuai ketentuan yang ada yang berpotensi mencemari lingkungan;
  • Jumlah limbah yang dihasilkan pada satu tempat atau secara regional atau secara nasional berjumlah besar;
  • Dampak kesehatan dan pencemaran/kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah yang mengandung zat pencemar pada lokasi yang tidak memenuhi persyaratan;
  • Kebijaksanaan yang diambil oleh instansi pemerintah lainnya atau program peraturan perundang-undangan lainnya berdasarkan dampak pada kesehatan dan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah atau zat pencemar;
  • Faktor-faktor lain yang dapat dipertanggungjawabkan merupakan limbah B3.

Apabila setelah dilakukan uji toksikologi baik akut maupun kronis tidak memenuhi ketentuan seperti diatas maka limbah tersebut dapat dinyatakan sebagai limbah non B3 dan tentunya pengelolaan dilakukan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggungjawab setelah berkordinasi dengan instansi terkait. Berdasarkan sifat kronis dari limbah Tailling maka dapat dikatakan bahwa Tailling dikategorikan sebagai limbah B3, yaitu dengan melihat faktor pembatas jumlah limbah yang dihasilkan pada satu tempat atau secara regional atau secara nasional berjumlah besar dan juga potensi bermigrasinya tailling ke media lingkungan memiliki kemungkinan yang sangat besar dengan melihat medan (terain) pada aliran tailling sampai dengan Daerah Pengendapan Ajikwa (DPA).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 Pasal 7 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan. Selanjutnya disebutkan bahwa sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsinya dan kemanfaatannya dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

Pada pasal 27 disebutkan bahwa dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun disekitar sungai yang diperkirakan akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air sehingga membahayakan dan/atau merugikan penggunaan yang lain dan lingkungan. Selanjutnya yang dimaksud diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air sebagaimana tercantum pada pasal 27 adalah apabila kuantitas (jumlah) atau kualitas limbah yang bersangkutan melewati ambang batas tertentu, dengan mempertimbangkan sifat hidrologis masing-masing sungai yang bersangkutan serta situasi penggunaan airnya. Adapun status tailling PT. Freeport Indonesia terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah ini. Sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa merupakan sungai-sungai yang dijadikan sebagai tempat pembuangan tailling.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) menyebutkan Hak menguasai Negara dalam penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkadung di dalamnya diberikan kepada Pemerintah untuk mengatur, mengesahkan, dan atau memberi izin peruntukan penggunaan, penyediaan air dan atau sumber-sumber air. Adanya hak menguasai oleh Negara tersebut menimbulkan wewenang untuk melakukan kepentingan yang garis-garis besarnya seperti mengelola, mengatur, menyusun, mengesahkan serta menentukan perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air.

Pada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) butir (c) disebutkan pemerintah menetapkan tata cara pembinaan dalam rangka kegiatan pengairan menurut bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi-fungsi dan peranannya meliputi pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air yang dapat merugikan penggunaannya serta lingkungannya. Bidang yang sesuai dengan fungsi dan peranannya antara lain pembinaan sungai, irigasi maupun air untuk industri. Untuk itu berkaitan dengan fungsi pembinaan dimaksud maka penyuluhan dilaksanakan dalam rangka memberikan pengertian kepada masyarakat agar ikut menjaga kelestarian fungsi sungai.

Selanjutnya Pasal 15 butir ( c )menyebutkan barang siapa yang sudah memperoleh izin dari Pemerintah untuk pengusahaan air dan atau sumber-sumber air sebagaimana tersebut dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini, tetapi dengan sengaja tidak melakukan dan atau sengaja tidak ikut membantu dalam usaha-usaha menyelamatkan tanah, air, sumber-sumber dan bangunan-bangunan pengairan sebagaiman tersebut dalam pasal 13 ayat (1) huruf a,b,c, dan Undang-undang ini, diancam hukum pidana.

Perbuatan pidana dalam pasal ini adalah kejahatan. Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penuntutan atas kejahatan yang tidak diatur di dalam KUHP, Khususnya yang mengatur kejahatan-kejahatan yang langsung mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, orang dan barang tetapi secara khusus dan langsung berhubungan dengan Undang-undang ini. Atau oleh karena akibat dari perbuatan hukum yang dengan sengaja dilakukan bertentangan dengan Undang-undang ini dapat juga menimbulkan bahaya bagi kepentingan umum orang maupun barang maka perbuatan hukum tersebut dinilai sebagai kejahatan.

Adapun status tailling PT. Freeport Indonesia terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk meninjau kembali ijin yang diberikan kepada PT. Freeport Indonesia, dengan pertimbangan bahwa usaha-usaha untuk menyelamatkan dan pencegahan pengotoran sungai oleh limbah tailling belum dilakukan secara optimal terhadap sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa yang dijadikan sebagai tempat pembuangan tailling.

Berlanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 Pasal 16 ayat (2) menyebutkan penggunaan air yang berasal dari sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat dilakukan sepanjang tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air dan lingkungannnya atau bangunan umum yang bersangkutan. Diuraikan lebih lanjut bahwa apabila penggunaan dan pengambilan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal ini ternyata menimbulkan kerusakan, yang bersangkutan wajib mengganti kerugian yang diatur lebih lanjut oleh menteri.

Penggunaan air yang dimaksudkan pada Pasal 16 meliputi penggunaan untuk keperluan usaha perkotaan, pertanian, ketenagaan, Industri, pertambangan, lalulintas air, pengapungan, rekreasi, kesehatan dan keperluan lain sesuai dengan perkembangan. Selanjutnya disebutkan pada Pasal 22 bahwa penggunaan air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri dan Menteri yang bersangkutan.

Pihak yang berwenang sebelum memberikan izin untuk masing-masing keperluan seperti disebutkan di atas wajib mempertimbangkan nilai keguanaan dari keperluan tersebut serta akibatnya terhadap keseimbangan air, baik kualitas maupun kuantitasnya di wilayah tata pengairan yang bersangkutan, serta terpenuhinya persyaratan pembuangan air limbah beserta bahan-bahan limbah lainnya sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya berkaitan dengan persyaratan pemberian izin, pada Pasal 26 disebutkan izin dapat diubah ketentuannya apabila keadaan yang dipakai sebagai dasar pemberian izin telah berubah ketentuan tersebut untuk keperluan air dalam wilayah sungai atau wilayah tata pengairan yang bersangkutan. Kemudian pada pasal 27 disebutkan bahwa apabila keadaan memaksa izin dapat dibekukan sementara untuk kepentingan perlindungan, pengembangan dan prioritas penggunaan air dan/atau sumber air. Dan pada pasal 28 dan 29 lebih ditekankan lagi bahwa izin yang telah diberikan dapat dicabut apabila pemegang izin tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam surat izin, dan sekaligus izin dapat dibatalkan apabila rencana penggunaan air sudah tidak sesuai lagi dengan yang tercantum dalam surat izin ataupun apabila tidak ada lagi persediaan air pada sumber yang bersangkutan. Selanjutnya pada Pasal 43 menyebutkan barang siapa yang telah memperoleh izin dari pihak yang berwenang dan tidak ikut membantu dalam usaha menyelamatkan air, sumber air, dan bangunan air maka akan dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974.

Adapun status tailling PT. Freeport Indonesia terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang tata pengaturan air menunjukkan bahwa Sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa perlu ditinjau kembali perijinan, mengingat berdasarkan tata pengaturan air kurang memperhatikan untuk kepentingan perlindungan, pengembangan dan prioritas penggunaan air dan/atau sumber air.

Membandingkan kualitas air sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa dengan menggunakan standar baku mutu penggolongan air, tidaklah tepat bagi sebuah badan air yang mengandung limbah berupa tailling. Baku mutu limbah yang dimaksudkan tertera pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair. Hingga saat ini untuk menentukan titik awal penentuan golongan bagi sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa masih dalam pembicaraan yang menuntut kesepakatan-kesepakatan yang konsisten.

Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, serta ketentuan mengenai criteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan pada pasal 41 disebutkan bahwa barang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Selanjutnya jika mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Apabila tindak sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Penerapan Peraturan perundang-undang diatas bagi perlindungan sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa tidaklah semudah yang dibayangkan. Karaterisitk PT. Freeport Indonesia merupakan jenis pertambangan terbuka yang membutuhkan lahan yang cukup luas, pemindahan tanah yang cukup besar, menghadapi curah hujan yang cukup tinggi, berada pada 3 (tiga) ekosistem yaitu coastal, lowland, Highland, memiliki catment area yang cukup banyak dengan pola aliran sungai yang beragam, terdapat banyak sungai besar dan kecil, sehingga kondisi ini memaksa aktifitas PT. Freeport Indonesia untuk tetap menjaga keseimbangan daya dukung lingkungan yang ada.

Dari 100% total bijih kering yang diproduksi, maka hanya 3-4% yang diduga mengandung konsentrat emas, perak serta tembaga, dan sisanya 96-97 % berupa tailing. Tailing dialirkan pertama kali melalui sungai Aghawagon yang berada pada ketinggian 2.800 meter dpl, selanjutnya mengalir dan diendapkan pada daerah pengendapan tailing (DPA) yang memiliki luas 230 Km2 atau 23.000 ha. Untuk itu pengelolaan tailing dapat dilihat sesuai dengan kondisi di lapangan menunjukkan:

  1. Tailing sulit ditimbun di dataran tinggi yang dekat dengan pabrik di Mil 74 dikarenakan:
    • Di Kawasan Mil 74 merupakan perbukitan yang terjal, lembah curam dan tidak ditemukan dataran tinggi yang luas untuk dibangun kolam penampungan Tailing.
    • Kawasan Mil 74 dan sekitarnya merupakan kawasan pegununga tengan (central devinding range) yang memilki kerawanan gempa, sehingga membawa kerawanan dalam membuat kolam pengendapan tailing.
    • Sebelah Timur Kawasan Mil 74 merupakan kawasan Taman Nasional Lorentz yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia sehingga berpotensi terganggu dengan adanya kolam pengendapan tailing.
  1. Jumlah tailing sejalan dengan produksi bijih. 3-4 % konsentrat berharga dan 96-97% berupa tailing. Pada tahun 1973 produksi 3.800 ton perhari, Tahun 1982 produksi 9.600 ton perhari, Tahun 1988 produksi 22.000 ton perhari, Tahun 1990 produksi 32.000 ton perhari, Tahun 1993 produksi 52.000 ton perhari, tahun 1994 produksi 115.000 ton perhari, Tahun 1996 produksi 160.000 ton perhari, Tahun 1997 produksi 170.000 ton perhari, dan Tahun 1999 produksi 220.000 ton perhari. Sejalan dengan itu maka Tailing yang dihasilkan akan sebanyak 96-97% produksi yang ada. Untuk itu pengelolaan tailing membutuhkan berbagai pertanyaan lanjutan:
    • Adakah batas produksi PT.Freeport Indonesia dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung DPA yang ada.
    • Apakah Penanganan dengan sistem 2 (dua) tanggul dapat menjawab laju produksi Tailing yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia.
  1. Kedudukan sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa sebagai suatu sistem aliran tailing berada pada ketinggian yang berbeda. Untuk itu hala-hal yang dapat terjadi adalah:
    • Sistem sungai Aghawagon dan Otomona mempunyai kemiringan yang cukup besar antara 175 meter/1 KM sampai 10 meter/ 1 KM dengan batuan dasar yang cukup keras, karena sebagian didominasi oleh batuan beku dalam. Hal ini menyebabkan tailing tidak terendapkan di sungai Aghawagon dan Otomona.
    • Akibat penurunan kecepatan yang tiba-tiba disekitar Otomona Bridge (pertemuan Ajkwa dan Otomona), maka terjadi penyebaran aliran dan menyebabkan satu anak sungai dengan anak sungai yang lain menjadi satu dan membentuk kelokan-kelokan sungai hingga mencapai Main Ajkwa Estuary.
    • Perhitungan terhadap kapasitas angkut tailing oleh sistem singai AOA perlu diperhitungkan sejalan dengan laju peningkatan produksi. Hal ini untuk menghindari pengendapan yang terjadi pada bagian sungai di dataran tinggi.
    • Apabila terjadi pengendapan pada sungai-sungai di dataran tinggi maka kawasan lowland akan menjadi sasaran tumpahan material tailing diwaktu musim hujan (banjir tailing).
  1. Tailing masing mengandung senyawa-senyawa sulfida yang apabila tidak dikontrol akan berpotensi membentuk asam. Untuk itu perilaku tailing perlu diamati:
    • Karaterisitik fisika dan kimia kemungkinan timbulnya keasaman
    • Kemampuan daya dukung hamparan tailing.
    • Arah dan laju pengendapan serta bocoran dinding tanggul.
    • Boncoran terhadap sungai Minajerwi dan Taman Nasional Lorentz.
  1. Selain mengontrol arah dan laju aliran tailing, maka padatan tailing perlu diatur pada DPA. Pengaturan terhadap padatan pada DPA dimaksudkan agar:
    • Tidak terbentuk aliran liar yang dapat mengancam tanggul barat dan tanggul timur.
    • Peninggian tanggul disesuaikan dengan tingkat sedimentasi agar tidak terjadi blow up aliran tailing.
    • Dapat mengontrol padatan yang seharusnya diendapkan menjadi terikut oleh laju aliran.
    • Rekayasa tanggul sudah menjadi prioritas dalam rangka mengendalikan padatan dan laju aliran tailing.
  1. Ukuran Partikel tailing berkisar pada ukurantanah liat, lanau dan pasir. Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan proses erosi dan sedimentasi adalah:
    • Adanya erosi secara alami yang membawa material berupa karakal disekitar jembatan otomona.
    • Erosi alami berupa pasir yang turut tersedimentasi di DPA, yang diperkirakan dapat menambah beban DPA.

Adapun respon masyarakat terhadap tailing dapat dijelaskan sebagai berikut. Suku Amungme mendiami kawasan pegunungan Biji (Ertsberg) dan Grass-berg yang sebagian besar tanahnya terkonsesi oleh PT. Freeport Indonesia. Selain itu suku Amungme tersebar pula di Kabupaten Paniai dan Fak-fak. Dan juga di lembah besar dan kecil termasuk di Selatan Pegunungan Tengah Irian Jaya. Batas-batas wilayah orang Amungme antara lain Lembah Jeva disebelah Utara yang berbatasan langsung dengan wilayah orang Moni dan Ekari, di sebelah Timur berbabatasan dengan orang Dani dan Nduga, dan sebelah Selatan berbatasan langsung dengan dataran rendah Akimuga yang merupakan wilayah orang Sempan, Komoro dan Asmat.

Terhadap suku Amungme ada sebutan-sebutan lain seperti suku Damal dan suku Urgunduni. Suku Amungme termasuk dalam kompleks budaya babi dan ubi. Dalam kompleks budaya ini babi dan ubi memiliki nilai sosial, ekonomi bahkan emosional-spiritual. Babi dan ubi mengungkapkan identitas suku pegunungan tengah (termasuk suku Amungme). Amungme berasal dari dua suku kata Amung yang berarti pertama atau sejati dan Me berarti manusia. Selanjutnya Amungme berarti Manusia Sejati atau Manusia Pertama. Kelompok suku ini menganut garis Patrinial dan Egaliter serta memiliki kepribadian yang kuat.

TE ARO NEWEAK LAK-O (Bahasa Amungme) yang artinya Alam adalah Aku. Ungkapan sederhana ini mengandung arti yang sangat dalam dan luas dalam konteks pemahaman sumberdaya alam. Selanjutnya bagi orang Amungme tanah adalah Ibu atau Mama. Kalau kita cermati kalimat Alam adalah Aku dan Tanah adalah Ibu, hal ini menunjukkan bahwa penghormatan terhadap Alam diibaratkan mengasihi diri sendiri dan menghormati Ayah dan Ibunda. Hal ini menunjukkan bahwa suku Amungme tidak terpisahkan oleh Alamnya, termasuk sumberdaya yang terkadung di alam suku Amungme. Merusak alam berati merusak diri sendiri dan orang tua suku Amungme (Ibu mereka).

Suku Amungme melihat ruang (space) mereka terbentang dari arah utara ke Selatan. Ruang (space) tersebut terdiri dari pegunungan dibagian utara sampai pada dataran rendah dan wilayah pesisir di bagian selatan. Pada bagian utara tersimpan kekayaan sumberdaya alam beruapa deposit meneral emas, perak dan tembaga yang hingga saat ini merupakan wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia. Dalam menatap ruang (space) yang mereka miliki, orang Amungme mengibaratkan seorang ibu yang sedang tidur terletang dari utara ke arah selatan.

Kepala ibu berada di puncak-puncak gunung bagian utara, dan kawasan ini sangat dihormati oleh orang Amungme karena dianggap kawasan tersebut merupakan sumber pendidikan, ajaran, pengetahuan serta didikan yang keluar dari kepala seorang ibu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau orang Amungme sangat mensucikan kawasan bagian utara yang terdiri dari puncak-puncak pegunungan. Mereka menganggap pula bahwa roh nenek moyang mereka hidup secara turun temurun di kawasan bagian utara.

Orang Amungme menganggap bahwa badan ibu mereka (Ndou) berada diantara kawasan utara dan selatan (contoh desa Banti dan Waa yang berada di Mil 68 Tembagapura). Di kawasan ini terdapat hati dan jatung ibu mereka, bahu serta pangkuan Ibu. Dikawasan inilah mereka hidup berdampingan dengan kesuburan tanah dan alam yang damai sejahtera. Di kawasan ini pula mereka menganggap bahwa ibu mereka sedang menaungi kehidupan mereka sehingga mereka lebih merasa tenang dan tentram. Di kawasan utara dan selatan terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi, hutan belantara serta sungai-sungai yang mengalir memberikan air kehidpan bagi masyarakat suku Amungme.

Selanjutnya Kawasan bagian Selatan dianggap sebagai kaki ibu mereka (Ndok). Disini terdapat aliran-aliran sungai (sungai Ajikwa dan sungai Minajerwi) dan tanah yang subur sebagai tempat mereka berladang dan berburu (contoh: kawasan Lowland PT. Freeport Indonesia). Di kawasan ini dianggap terdapat roh-roh jahat, oleh sebab itu orang Amungme dilarang keras untuk bertempat tinggal di kawasan ini karena dianggap sebagai tempat dataran pelepasan sumpah serapah. Sungai-sungai diberi nama sesuai dengan nama marga pemiliknya bahkan sampai kepada nama gunungpun diberi nama sesuai kepemilikan marga. Batas-batas tanah sangat jelas pembagiannya sehingga pemanfaatannya menjadi jelas baik diperuntukan bagi perladangan maupun perburuan.

Tom Benal (1996) dalam Phil Erari (1999) menyebutkan bahwa pemilikan dan hak atas tanah serta sumberdaya alam diatur dan ditetapkan pembagiannya sebagai berikut:

    1. Kawasan pegunungan, yang merupakan sumber segala kebaikan yang keramat, tempat bersemayam arwah leluhur, adalah milik arwah nenek moyang. Milik ini diwariskan kepada suku Amungme.
    2. Dataran rendah yang diidentikkan sebagai sumber segala kejahatan, tempat tabu, daerah suanggi (setan, kuasa gelap) dan roh-roh jahat, menjadi milik suku Komoro yang senantiasa menghadapi musibah kejahatan.
    3. Antara kedua kawasan di atas, terdapat dunia Amungme.

Selanjutnya hak atas tanah dan sumber daya alam dibagi menjadi Marga Ninume mempunyai hak atas sumber daya lam di Ninusa, Marga Untenol di Untungsa, dan Marga Ondime di Ondisa. Pembagian tersebut menunjukkan kearifan yang sangat tinggi dalam kehidupan suku Amungme.

Hidup bersatu dengan Alam, Alam adalah Aku, Tanah adalah Ibu, Setiap marga memiliki batas yang jelas dalam memanfaatkan sumberdaya alam, tidak semua tempat menjadi kawasan bagi perladangan dan perburuan, kesemua itu memberikan pertanyaan bagi kita semua tentang keberadaan suku Amungme di tengah-tengah wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia yang beroperasi sejak tahun 1967 dan peresmiannya pada tahun 1973. Akankah mereka bertahan untuk menyaksikan kawasan yang dianggap sakral tercabik –cabik oleh orang luar yang hanya mementingkan dan memperkaya diri.


          1. Bidang Kehutanan

Di Provinsi Papua terdapat berbagai aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan. Aktifitas tersebut dilakukan oleh dunia usaha, masyarakat perorangan, kelompok masyarakat ataupun perhimpunan masyarakat berbadan hukum yang dikenal dengan Koperasi Masyarakat (Kopermas).

Aktifitas yang dilaksanakan oleh dunia usaha atau pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Provinsi Papua mengalami berbagai perubahan antara lain terdapat IUPHHK yang belum beroperasi, mengalami stagnasi dalam kegiatannya, atau Surat Keputusan HPH telah berakhir serta status IUPHHK yang masih aktif melaksanakan kegiatannya.

Pada tahun 2001 tercatat terdapat 54 IUPHHK di Provinsi Papua yang masih aktif melaksanakan kegiatannya dengan total luas areal sebesar 12.025.923 ha atau (28,81%) dari luas kawasan hutan yang ada, dan hingga tahun 2002 terdapat 37 IUPHHK yang masih aktif secara administrasi (dan hanya 16 IUPHHK yang beroperasi di lapangan) melaksanakan kegiatannya dengan luas areal hutan yang dikonsesi sebesar 7.722.953 ha atau 18,50% dari total luas kawasan hutan di Provinsi Papua (41.729.588 ha). Kegiatan-kegiatan IUPHHK di Provinsi Papua seluas 18,50% tersebut sudah barang tentu berpotensi merubah fungsi hutan secara alami, yang pada gilirannya akan menggangu kestabilan ekosistem hutan.

Gambar III-2 Diagram Luas Hutan Di Provinsi Papua

Kegiatan IUPHHK di Provinsi Papua yang menimbulkan berbagai tekanan terhadap lingkungan. Kegiatan IUPHHK tersebut antara lain pada saat penataan areal kerja (PAK) dan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) dimana tekanan lebih banyak kepada aspek sosial budaya penduduk lokal Papua dimana terbuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal. Kegiatan IUPHHK lainnya yang sering menimbulkan tekanan terhadap lingkungan adalah kegiatan Pembukaan wilayah hutan (PWH). Pada saat kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH) maka tekanan lebih terasakan pada masyarakat dalam bentuk konflik sosial, kepemilikan hak ulayat dan kesempatan kerja. Secara khusus pula dampak kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH) pada lingkungan fisik meliputi:

  • Meningkatnya laju erosi dan sedimentasi.
  • Menurunnya kualitas air.
  • Menurunnya debit air.
  • Perubahan iklim mikro.
  • Menurunnya kualitas udara.
  • Kesuburan tanah.

Sedangkan tekanan terhadap linkungan hayati pada saat kegiatan pembukaan wilayah hutan antara lain pada perubahan struktur vegetasi, keberadaan satwa liar, keberadaan flora yang dilindungi serta biota perairan.

Kegiatan IUPHHK lainnya yang menyebabkan tekanan terhadap lingkungan di Provinsi Papua adalah kegiatan penebangan dan penyaradan. Pada kegiatan ini, maka sisi lingkungan yang mengalami tekanan adalah kondisi lahan yang mengalami erosi dan sedimentasi serta kondisi badan air yang mengalami perubahan kualitas air. Selanjutnya tekanan terhadap lingkungan sosial akibat kegiatan penebangan dan penyaradan adalah pada kondisi masyarakat. Dimana sering terjadi Konflik sosial, kepemilikan hak ulayat serta penyerapan tenaga kerja.

Selain kegiatan IUPHHK, terdapat kegiatan Usaha Hutan Tanaman. Pada UHT maka kegiatan yang sering menimbulkan tekanan pada lingkungan fisik adalah pada kegiatan penyiapan lahan (Kegiatan Penebangan dan Landclearing). Tekanan terhadap lingkungan yang sering dirasakan adalah adanya erosi, sedimentasi, perubahan kualitas air, eksistensi flora dan fauna serta tekanan terhadap masyarakat sekitar hutan.

Kondisi tekanan kegiatan IUPHHK dan UHT terhadap kawasan hutan sering terjadi pada kegiatan-kegiatan IUPHHK dan UHT yang tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Berdasarkan data yang ada dari 66 IUPHHK baik yang aktif maupun tidak aktif, maka kurang lebih 21 IUPHHK yang belum memiliki dokumen Amdal. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan tersebut tidak memiliki rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan yang secara periodik harus dikelola dan dipantau. Kondisi di Provinsi Papua menunjukkan bahwa tidak hanya IUPHHK dan UHT yang bergerak dan melakukan eksploitasi terhadap hutan akan tetapi terjadi pula beberapa kasus pemanfaatan hutan yang tidak resmi atau yang lebih dikenal dengan ilegal logging. Kasus-kasus yang sering ditemui dilapangan antara lain gerakan-gerakan ilegal logging baik secara kelompok maupun perorangan. Illegal logging sering memwa kosekuensi terhadap kerusakan lingkungan hutan, dimana pada aktifitasnya sering tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang terstruktur dan teratur secara periodik.

Kondisi penyebab kerusakan hutan lainnya di Provinsi Papua adalah kebakaran hutan. Sementara itu penyebab kebakaran hutan di Papua periode 1995 – 2002 dapat berasal dari kegiatan yang bersifat alami, misalnya petir, atau gesekan alang-alang. Penyebab yang lebih banyak adalah adanya kegiatan manusia, misalnya pada pembukaan lahan untuk lokasi transmigrasi, ladang, perkebunan dan lain-lain, baik oleh institusi pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Untuk menanggulangi kerusakan lingkungan kawasan hutan di Provinsi Papua, baik yang diakibatkan aktifitas IUPHHK/UHT ataupun Illegal Logging, maka Pemerintah Provinsi Papua telah mengeluarkan berbagai produks hukum guna mengatur pemanfaatan hutan secara berkelanjutan. Adapun produk-produk hukum yang dikeluarkan meliputi Surat Keputusan Gubernur Propinsi Irian Jaya Nomor 121 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada Hutan Produksi Alam Di wilayah Propinsi Irian Jaya Jo. meliputi Surat Keputusan Gubernur Propinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Propnsi irian Jaya Nomor 121 Tahun 2001.

Selain itu terdapat Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 50 Tahun 2001 Tentang Penyelesaian Hak Ulayat, serta Surat Keputusan Gubernur Nomor 37 Tahun 2001 tentang keterbukaan informasi dalam Proses Amdal. Produk-produk hukum ini diikuti pula dengan sosialisasi, konsultasi serta tindakan-tindakan administrasi, keperdataan dan pdana terhadap pelanggaran hukum yang terkait dengan illegal logging. Masyarakat adat dalam merespon berbagai produk hukum tersebut terlihat dengan adanya berbagai tuntutan kepada dunia usaha terhadap hak-hak adat mereka. Tuntutan ganti rugi sering ditemukan di lapangan dimana sering diselesaikan pada tingkat masyarakat dan juga pada tingkat pemerintah, dalam arti sampai kepada proses hukum.

Respon masyarakat terhadap dinamika dalam pembangunan kehuatan termasuk bagaimana masyarakat merespon perkembangan produk-produk hukum yang mengatur pemanfaatan sumberdaya hasil hutan, maka lahir sebuah Koperasi Masyarakat Adat atau yang dikenal dengan KOPERMAS. Wadah pemberdayan ekonomi masyarakat ini dimaksudkan agar ekonomi kerakyatan masyarakat asli Papua dapat meningkat seiring dengan keinginan masyarakat memanfaatkan sumberdaya hutan ditanah ulayat mereka.

Di Provinsi Papua telah tercatat sampai dengan tahun 2002 terdapat 328 Kopermas yang tersebar di Kabupaten Jayapura (55), Kota Jayapura (9), Kabupaten Merauke (58) Kabupaten Manokwari (27), Kabupaten Biak Numfor (7), Kabupaten Fak-fak (38), Kabupaten Paniai (11), Kabupaten Wamena (1), Kabupaten Yapen Waropen (11), Kabupaten Nabire (41), Kabupaten Sorong (58) dan Kota Sorong (13). Berikut gambar tentang jumlah Kopermas dan IUPHHK di Provinsi Papua sampai dengan tahun 2002.

Gambar III-3. Diagram Perbandingan Jumlah Kopermas dan IUPHHK/UHT di Provinsi Papua

Respon Pemerintah dengan mengistilahkan KOPERMAS dengan istilah Community Logging memberikan peluang kepada masyarakat untuk berusahan di tanah ulayatnya sendiri melalui perijinan Pengelolaan hutan berskala kecil (250 ha) dengan nama ijin Hak Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat (IHPHH-MHA). Kenyataan dilapangan menunjukkan banyak investor berdasi mulai bekerja dibalik seragam IHPHH-MHA, dan menjadikan masyarakat sebagai tameng untuk mendapat ijin dari pemerintah.

Untuk merespon kondisi ini maka Gubernur Provinsi Papua mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 522.2/3386/SET/2002 tertanggal 22 Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat, yang diikuti oleh Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Nomor 522.1/1648/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu masyarakat hukum adat. Adapun inti dari surat tersebut adalah Mengkontrol seluruh aktifitas Kopermas dalam bermitra dengan investor yang ada di Provinsi Papua.

          1. Bidang Perhubungan dan Transportasi

Tujuan pembangunan transportasi adalah membuka keterisolasian daerah serta memperlancar distribusi arus barang dan jasa terutama pada daerah terpencil di Provinsi Papua. Di Provinsi Papua masih terdapat Distrik yang belum dapat dijangkau melalui darat dari Ibu Kota Kabupaten. Sebagai contoh Distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta Tor Atas, Sarmi, Pantai Barat, dan Pantai Timur. Distrik-distrik ini dibuka keterisolasiannya melalui jalan laut dan udara.

Kondisi actual bidang transportasi di Provinsi Papua menunjukkan semakin mudahnya proses mobilitas penduduk, persebaran penduduk, jumlah migrasi dan kepadatan penduduk pada daerah perkotaan ditunjang pula oleh semakin lengkapnya sarana dan prasarana transportasi. Proses urbanisasi di Provinsi Papua semakin meningkatkan pada Kabupaten yang memiliki aksesibilitas yang tinggi. Aktifitas tersebut menyebabkan terjadinya perambahan terhadap keberadaan berbagai kawasan lindung di Provinsi Papua, terutama bagi diperuntukan bagi kepentingan permukiman dan perladangan oleh kaum migran.

Keterbukaan daerah yang terisolasi memberikan dampak fisik dan social. Dampak fisik yang terjadi adalah pada bentang lahan yang ada, seperti dengan dibukannya jalan darat menyebabkan adanya peningkatan laju erosi dan sedimentasi, menurunnya keragaman spesies, serta terputusnya tempat hidup (home range) dari spesies tertentu. Dampak social yang terasakan adalah adanya ketidak mampuan masyarakat terisolasi dalam menerima laju distribusi barang dan jasa, sehingga mereka tidak mampu melibatkan diri dalam system ekonomi yang ada.

Respon pemerintah dibidang transportasi antara lain setiap tahun anggaran semakin meningkatkan angaran pembangunan sarana dan prasarana transporasi darat, laut dan udara di Provinsi Papua. Bidang transportasi juga merupakan prioritas utama dalam rencana pembangunan di Provinsi Papua. Kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah telah berupaya membuka keterisolasian kampung-kampung di distrik sepanjang pantai utara Papua. Untuk menghadapi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh akibat pembangunan transportasi ini maka Pemerintah Provinsi Papua telah menugaskan Badan Pengendalian Dampak Lingkangan Daerah Provinsi Papua untuk melaksanakan kordinasi dengan instansi terkait dalam bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Disisi lain respon masyarakat dalam memanfaatkan transportasi ditunjukkan adanya arus mobilitas ke kota Jayapuras baik bersifat menetap maupun sesaat. Masyarakat membawa berbagai hasil ladang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota, disisi lain masyarakat kota mendistribusikan barang dan jasa ke berbagai daerah di Kabupaten dan distrik di provinsi Papua.

          1. Bidang Kesehatan

Jenis penyakit dominan di Papua, yakni jenis penyakit malaria merupakan penyakit yang paling sering diderita masyarakat, kemudian ISPA serta penyakit kulit. Hal ini berkaitan dengan kondisi daerah permukiman yang pada umumnya terdapat di daerah dataran berawa, serta perilaku dan pola hidup masyarakat yang kurang menyadari akan kebersihan lingkungan.

Permasalahan bidang kesehatan di Papua meliputi beberapa faktor antara lain, faktor geografis, transportasi, komunikasi, ketersediaan dana, prasarana dan sarana kesehatan, personil/tenaga kesehatan, serta tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Kondisi pola penyebaran penduduk yang jauh masuk ke pedalaman berimplikasi pada pola dan program pelayanan kesehatan yang membutuhkan dan yang sangat besar serta dukungan sarana dan prasarana yang memadai, ditambah pula dengan dukungan personil/tenaga kesehatan yang profesional dan memiliki jiwa pengabdian yang tinggi.

Isu tentang Kesehatan di Papua dapat dilihat antara lain dengan rasio ketersediaan bangunan Rumah Sakit yang sebenarnya tidak sesuai lagi dengan rasio penduduk maupun tidak memenuhi persyaratan kelayakan sebagai sebuah rumah sakit. Ketersediaan tenaga medis di Provinsi Papua merupakan salah satu isu penting. Beberapa kondisi yang sering dijumpai di Provinsi papua adalah di daerah terpencil tenaga medis yang dijumpai hanyalah para perawat. Kalaupun ada dokter yang bertugas di Puskesmas terpencil, biasanya tidak betah disana Isu kesehatan lainnya yang sementara berkembang di Provinsi Papua adalah perkembangan AIDS/HIV. Gambar berikut ini memperlihatkan perkembangan penyakit HIV/AIDS di Provinsi Papua.

Gambar III-4 Perkembangan Penyakit HIV/AIDS

Di Papua 1992-2002

Data-data dimaksud menunjukkan bahwa pada awalnya, kasus penderita HIV/AIDS terdeteksi pada tahun 1992, yaitu sejak ditemukannya 6 orang pengidap HIV yang terjaring melalui suatu survey terhadap 112 orang penduduk kelompok beresiko tinggi. Keenam orang pengidap HIV tersebut terdiri dari 2 orang wanita Penjaja Seks Komersial dan 4 orang nelayan warga negara Thailand. Jumlah penderita penyakit AIDS di Provinsi Papua secara akumulatif sejak tahun 1991 hingga dengan bulan Juli 2000, tercatat sebanyak 102 orang terkena AIDS dan 293 lainnya positif mengidap virus HIV. Dari jumlah yang terkena AIDS tersebut 80 orang telah meninggal dunia. Data terakhir Oktober tahun 2001 menunjukkan bahwa 384 HIV, dan AIDS 250 orang sehingga total menjadi 634 orang.

Sejak ditemukannya kasus pengidap HIV (+) AIDS pada tahun 1992 di kota Merauke, penyebarannya cukup cepat hingga ke beberapa kota di Papua seperti Jayapura, Biak, Sorong, Kaimana dan Timika. Sebenarnya kasus AIDS/HIV (+) ini mulai mencuat, terutama sejak beroperasi armada kapal penangkap ikan yang berpangkalan di Merauke. Sebagian besar dari tenaga kerja yang dipekerjakan pada armada kapal penangkapan ikan tersebut adalah warga negara asing yang berasal dari Thailand. Penyebaran penyakit HIV/AIDS telah merata di seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Papua. Gambar berikut menunjukkan penyebaran penyakit HIV/AIDS di Kabupaten dan Kota seluruh Provinsi Papua.

Gambar III-5 Jumlah Penyakit HIV/AIDS Per Kabupaten Tahun 2002 Di Provinsi Papua

Data menunjukkan 49,03% pengidap AIDS/HIV (+) berkebangsaan asing, sedangkan sebesar 50.97% berkebangsaan Indonesia. Hingga November 1997, dari ke 37 pengidap AIDS, 28 orang diantaranya telah meninggal dunia, masing-masing 25 orang di Merauke, 1 orang di Jayapura dan 2 orang di Kodya Jayapura. Upaya yang dilakukan untuk penanggulangan meluasnya penyebaran HIV dan penyakit AIDS antara lain dengan mengadakan penyuluhan kepada pekerja seks komersial di Provinsi Papua. Pada tahun 1998 terjadi 54 kasus (24 HIV+ dan 30 AIDS), tahun 1999 terjadi 72 Kasus (63 HIV+ dan 9 AIDS), tahun 2000 terjadi 130 kasus (113 HIV+ dan 17 AIDS), dan meningkat tajam pada tahun 2001 terdapat 391 kasus (205 HIV+ dan AIDS 186) serta tahun 2002 per September 71 kasus (33 HIV+ dan 38 AIDS) dan per Oktober ditemukan 7 kasus (5 HIV+ dan 2 AIDS).

Kondisi ini menyebabkan Provinsi Papua menempati urutan kedua setelah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dalam dominasi penyakit AIDS di Indonesia. Selanjutnya bila kasus tersebut diproposikan pada jumlah penduduk Papua maka Provinsi papua menempati Urutan Pertama. Adapun penyebab jumlah kasus penederita HIV/AIDS semakin meningkat adalah perilaku seksualitas yang suka jajan diluar pasangan tetap atau suka ganti-ganti pasangan, hal ini banyak dilakukan oleh Pekerja Seks Komersial (PSK) baik terlokalisir maupun non lakalisasi. Selain pekerja seks maka kelompok beresiko tinggi lainnya adalah para pelanggan pekerja seks seperti pemuda, buruh, nelayan dan sebagainya. Meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS dan penyakit seks menular sesksual di daerah Papua didyukung pula oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya pendap[at masyarakat, pelayanan kesehatan yang kurang optimal, pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang rendah terhadap pola penularan penyakit menular seksual, dan juga lokasi prostitusi (legal maupun non legal) semakin menjamur terutama di daerah-daerah dimana terdapat aktifitas perusahaan besar.

Kondisi nyata di lapangan menunjukkan sampai akhir Oktober tahun 2002 Kabupaten Merauke merupakan Kabupaten yang memiliki pengidap HIV/AIDS tertinggi yaitu 327 Kasus (150 HIV+ dan 177 AIDS), Kabupaten Timika urutan kedua yaitu 300 Kasus (256 HIV+ dan 44 AIDS), Kota Jayapura 55 kasus (9 HIV+ dan 46 AIDS), Sorong 53 kasus (52 HIV+ dan 1 AIDS), Fak-fak/Kaimana 51 kasus (50 HIV+ dan 1 AIDS), Nabire 47 Kasus (12 HIV+ dan 35 AIDS), Jayapura 44 kasus (16 HIV+ dan 28 AIDS), Jayawijaya 8 kasus (8HIV+), Biak 6 kasus (6 HIV+), Manokwari 4 kasus (3 HIV+ dan 1 AIDS), dan Serui 1 kasus (1 HIV+).

Penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Merauke adalah dimulai dengan adanya pelaut-pelaut Thailand yang diduga menyebarkan virus tersebut sampai kedaerah pedalaman. Sedangkan di kabupaten Mimika tingginya kasus HIV/AIDS diduga lebih disebabkan makin menjamurnya lokalisasi dan tempat bar minum yang selalu dikunjungi oleh pekerja-pekerja diakhir pekan.

Secara umum respon masyarakat terhadap berbagai dinamika permasalahan kesehatan di Provinsi Papua diupaya melalui berbagai usaha. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS di Papua, antara lain melalui pembentukan wadah KPAD atau yang dikenal dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Hanya saja sampai saat ini belum ada intervensi yang nyata dari KPAD ini. Program-program KPAD terbatas pada penyediaan data-data kasus-kasus HIV/AIDS yang terjadi di Papua.

Perbaikan kesehatan masyarakat meliputi upaya pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, pembudayaan jamban, kebersihan dan kesehatan lingkungan, serta pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana. Meningkatnya pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, lembaga-lembaga pemulihan kesehatan, pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) serta lembaga kesehatan lainnya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

Meningkatnya mutu serta penyediaan dan pemerataan tenaga medis, penyediaan obat-obatan yang makin merata dan terjangkau, peningkatan pengadaan, pemanfaatan sarana dan prasarana kesehatan makin ditingkatkan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Makin membaiknya dan tersedianya pusat-pusat pelayanan kesehatan baik yang dikelola pemerintah maupun swasta merupakan salah satu factor yang menarik migran dari luar untuk masuk ke Papua.

          1. Bidang Pendidikan

Keadaan pendidikan di Provinsi Papua menunjukkan gambaran sebagai berikut Jumlah Sekolah Dasar (SD) periode tahun 1998-1999 sebanyak 2332 buah dan di tahun 1999-2000 meningkat menjadi 2378 buah sekolah, sedangkan untuk SLTP tahun 1998-1999 mencapai 340 dan meningkat pada tahun 1999-2000 menjadi 348 buah. Selanjutnya untuk SLTA pada tahun 1998-1999 mencapai 110 dan di tahun 1999-2000 meningkat menjadi 116 untuk seluruh Provinsi Papua.

Pada tahun 2002 jumlah murid Sekolah Dasar sebanyak 429.132 murid, SMP 222.306 murid, SMU 262.916 murid, Diploma I dan II sebanyak 8.082 orang, Diploma III sebanyak 11.589 orang dan Starata satu (S1), Starata Dua (S2) dan Starata Tiga (S3) mencapai 25.534 orang. Sebaliknya apabila ditinjau kondisi kependidikan di Papua pada tahun 1997/1998 menunjukkan telah terjadi peningkatan.

Jumlah Sekolah Dasar dan SLTP yang merupakan pendidikan dasar, meningkat menjadi 2.298 SD dan 327 SLTP atau masing-masing naik sebesar 0,83 % dan 3,48 %. Demikian halnya dengan jumlah SMU dan SMK meningkat menjadi 109 SMU (3,81 %) dan 28 SMK (2,69 %). Sementara jumlah murid di tingkat SD mengalami kenaikan sebesar 2,19 %, sebaliknya di tingkat SLTP mengalami penurunan sebesar 3,80 %. Sedangkan jumlah murid SMU dan SMK meningkat masing-masing sebesar 0,18 % dan 2,69 %. Perkembangan jumlah mahasiswa Universitas Cenderawasih semakin meningkat.

Dibidang pendidikan, program kerja yang dibuat meliputi perencanaan dan petunjuk teknis dalam pengadaan gedung atau bangunan Sekolah Dasar, Kantor, Sarana Pendidikan, dan perlengkapan Sekolah. Pembinaan dan penyeleggaraan kursus-kursus perpustakaan, Olahraga, Kesenian, pembinaan dan generasi muda dan kesehatan sekolah.Program kerja lainnya meliputi pembinaan,pengelolaan dan pengendalian pelaksanaan subsidi bantuan Sekolah Dasar,perumusan rencana kebutuhan dan pembinaan tenaga guru dan tenaga non guru,perumusan rencana kebutuhan,pengadaan dan distribusi buku-buku Sekolah Dasar dan alat bantu serta penyelenggaraan kegiatan pengumpulan, pengelolaan, dan analisis serta penyajian data.

Untuk program sektoral dibidang pendidikan yang didanai oleh BLN, dan APBN murni antara lain meliputi perawatan fasilitas DIKLUSEPORA, peningkatan mutu tenaga pendidikan, pendidikan luar sekolah, pembinaan olahraga, pengembangan pemuda Universitas Cenderawasih, Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Dasar di Papua. Selanjutnya terdapat pula program pembinaan kesenian Papua, peningkatan sejarah dan kepurbakalaan Papua, pengkajian dan pembinaan nilai budaya serta pembinaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah Papua.

Untuk program fisik meliputi peningkatan prasarana fisik, operasi dan perawatan fasilitas DIKDASMEN. Di program lain meliputi penelitian arkeologi, pembinaan permeseuman, operasi dan perawatan fasilitas kebudayaan, sarjana penggerak pembangunan dipedesaan, peningkatan peran wanita dan pendidikan guru SD di Papua.

BAB IV

REKOMENDASI

Tindak lanjut dari berbagai isu utama di Provinsi Papua meliputi:

    1. Rekomendasi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Bidang Kehutanan dan Pertambangan meliputi:
      • Aspek perencanaan pengelolaan Bidang Kehutanan dan Pertambangan dilakukan secara efisien dengan berbagai pendekatan, terutama melalui pendekatan partisipatif.
      • Data dan informasi mengenai potensi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di bidang Kehutanan dan pertambangan dapat terakses secara efektif.
      • Kinerja di bidang kehutanan dan pertambangan dari semua aktor yang mengeksploitasi sumberdaya alam hutan dan pertambangan secara periodic dievaluasi secara efektif dan effisien.
      • Tersedianya sarana dan peralatan yang memadai dalam evaluasi dan monitoring pelaksanaan pengendalian lingkungan di bidang kehutanan dan pertambangan.
  • Peningkatan penaatan (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) terhadap hukum lingkungan.
  • Mengefektifkan jaringan kelembagaan serta meningkatnya peranserta masyarakat adat (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
  • Peningkatan kualitas sumberdaya manusia pengelola (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui berbagai jenajang pendidikan formal maupun kursus-kursus serta pelatihan.
  • Peningkatan efektivitas struktur, kultur, dan fungsi kelembagaan pengelola (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) sumberdaya alam dan lingkungan hidup di lingkungan Pemerintahan, Pendidikan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lembaga adat.
  • Penyediaan peraturan pelaksanaan dan penegakannya (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) serta kuatnya institusi penegak hukum lingkungan.
  • Pengakuan maupun masuknya lembaga adat lokal dalam status kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Peningkatan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Pembinaan terhadap ekonomi konservasi (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) masyarakat pesisir, laut, dan daerah penyangga.
  • Peningkatan jumlah anggota masyarakat yang peduli dan mampu mengelola sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
  • Peningkatan kapasitas masyarakat lokal (adat) dalam pengelolaan (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
  • Kerjasama kemitraan dengan semua stakeholders Perguruan Tinggi, LSM, Masyarakat Adat, dan Pemerintah.
  • Pengakuan terhadap hak adat dan ulayat dalam pengelolaan (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
  • Pemanfaatan kearifan tradisional dalam pemeliharaan lingkungan hidup (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Peningkatan pengawasan kepatuhan dunia usaha dan masyarakat (Bidang Kehutanan dan Pertambangan) terhadap peraturan perundang-undangan dan sistem tata nilai masyarakat lokal yang berwawasan lingkungan.
  • Pengendalian spesies eksotik dan invasif (khususnya di bidang kehutanan).
  • Peningkatan pengelolaan pesisir, laut, dan danau binaan kepada masyarakat adat/setempat (Bidang Kehutanan).
  • Mengkaji kembali terhadap kebijakan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam secara proporsional (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Pengendalian terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dan sumberdaya air dengan pendekatan daerah aliran sungai dalam rangka penataan ruang di Provinsi (Bidang Kehutanan).
  • Pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan serta lahan kritis, wilayah pesisir, dan laut bekas pengelolaan sumberdaya alam dengan menyertakan masyarakat setempat Bidang Kehutanan).
  • Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati darat dan perairan (Bidang Kehuatanan).
  • Tersusunnya dan tertatanya indeks dan baku mutu lingkungan (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Mengembangkan teknologi tradisional yang ramah lingkungan (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Mengintegrasikan biaya lingkungan terhadap biaya produksi (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Peningkatan pengawasan dan pengendalian pencemaran air, tanah, udara, dan laut (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Peningkatan efektivitas pengawasan dan evaluasi standar mutu lingkungan (Bidang Kehutanan dan Pertambangan).
  • Penyusunan Tata Ruang Kabupaten/Kota di Provinsi Papua.
  • Overlay hasil Penyusunan Tata Ruang dengan Ekoregion Provinsi Papua.
  • Kordinasi antara dinas Kehutanan, BP3D, Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Kota dan Masyarakat adat/setempat.
  • Penyusunan protokol pemanfaatan kawasan konservasi bagi kegiatan perlindungan (preservasi) dan Konservasi antara Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat adat.
  • Perlindungan terhadap cagar budaya dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan tetap memperhatikan hak-hak masyarakat adat di Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Wasur.
  • Pengelolaan kawasan lindung dikembangkan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting di 51 Kawasan lindung.
  • Membangun kerjasama antara Pemerintah Daerah, Organisasi Lingkungan Hidup, Perguruan Tinggi dalam meningkatkan penggalangan dana abadi (Trush Fund) bagi pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang berada pada 51 kawasan lindung di Provinsi Papua.
    1. Rekomendasi terhadap tindak lanjut dibidang Perhubungan dan Transportasi meliputi:
      • Mensyaratkan pembangunan transportasi darat, laut dan udara berserta fasilitas untuk dalam perencanaan pembangunan memilki dokumen lingkungan baik dokumen Amdal maupun dokumen UKL dan UPL.
      • Melibatkan instansi yang ditugaskan mengendalikan dampak lingkungan untuk turut dalam kordinasi pembangunan daerah di Provinsi Papua.
      • Penyusunan program pengendalian pengelolaan lingkungan bidang transportasi antar sector di Provinsi Papua.
    2. Rekomendasi terhadap tindak lanjut dibidang Kesehatan dan Pendidikan meliputi:
  • Menciptakan kemudahan memperoleh pelayanan kesehatan dasar bagi kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, termasuk mereka yang rentan dan marginal, melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan di tingkat Kampung, Distrik dan Daerah-daerah kumuh di Perkotaan.
  • Meningkatkan kinerja pemantauan terhadap pengelolaan sampah (limbah padat), limbah cair, dan emisi gas buangan di wilayah perkotaan padat kendaraan yang mendatangkan Gangguan ancaman kesehatan baik akibat pencemaran maupun penyakit menular.
  • Peningkatan pelayanan preventif terhadap berbagai kasus penyakit HIV/AIDS melalui pendampingan terhadap ODHA.
  • Peningkatan jumlah sarana dan prasarana pendidikan di tingkat Kampung dan distrik edi wilayah pesisir pantai dan pedalaman Provinsi Papua.
  • Pemberian subsidi melalui dana Otsus (otonomi khusus) kepada putra daerah melalui pemberian bea siswa.
  • Pemberian insentive terhadap pengajar/guru di wilayah pesisir dan pedalaman Provinsi Papua.

Laporan Status Lingkungan Hidup Provinsi Papua Tahun 2003

Detius yoman,S.Sos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar