Senin, Mei 18, 2009

Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2) UntukOrangRp5Ribu,MumiRp20Ribu



















































Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)

UntukOrangRp5Ribu,MumiRp20Ribu

Seperti kata banyak orang, kunjungan Anda ke Papua belum lengkap kalau belum ke Wamena. Saya sudah membuktikan, ini bukan sekadar ungkapan, tapi fakta. Sebab, ibu kota Lembah Baliem ini memang menyimpan banyak cerita dan gambar. Dan, inilah pengalaman wartawan Jawa Pos, NANY WIJAYA memotret di sana.

Sejak puluhan tahun lalu, nama Lembah Baliem sudah terkenal. Bahkan, para ahli antropologi di Barat menyebutnya sebagai museum hidup. Sebab, sampai zaman sudah modern, suku yang hidup di kaki Pegunungan Jayawijaya itu masih mempertahankan budaya aslinya.

Sebelum 1970-an, pemerintah masih mengizinkan orang asing melakukan penelitian antropologi di daerah tersebut. Inilah sebabnya, mengapa Dani menjadi suku yang paling banyak disebut dalam buku-buku dan tesis-tesis antropologi.

Tetapi, penelitian itu sempat dilarang selama beberapa dekade, setelah terjadi dua peristiwa menghebohkan. Yang pertama, karena hilangnya Michael Rockefeller, anak kesayangan orang terkaya di dunia David Rockefeller, ketika berkunjung ke Lembah Baliem. Kedua, setelah terjadinya pernikahan paling kontroversial antara Obahorok Doga, kepala suku Dani dengan Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika Serikatyangmengaku ebagai antropolog.

Dari banyak suku yang hidup di Papua, nama Dani memang paling dikenal. Bukan karena suku ini yang paling banyak diteliti, tetapi karena suku ini paling gemar berperang. Hal itulah yang kemudian menjadikan suku ini paling banyak diteliti antropolog. Karena itu pula, suku tersebut mendapat julukan the Headhunter. Si pemburu kepala.

Gelar itulah, tampaknya, yang membuat Sargent datang ke Wamena dan kemudian menawarkan diri untuk menjadi istri Obahorok, yang ketika itu sudah punya 10 istri.

Tawaran Sargent itu tentu menjadi kejutan yang menggembirakan bagi Obahorok, istri-istrinya, dan seluruh warga Dani. Sebagai wujud kegembiraan mereka, digelarlah wam mawe (pesta pernikahan) besar-besaran selama 10 hari 10 malam. Lebih dari 60 babi disembelih dan dibakar dalam pesta itu.

Sebagaimana pengantin suku Dani, Sargent pun kabarnya juga bertelanjang dada dan mengenakan yokal (rok pengantin perempuan). Sesudahnya, dia juga tidur sebagai suami istri. Dan seusai pesta pun, Sargent pergi ke ladang sebagaimana istri-istri Obahorok yang lain.

Sayangnya, pernikahan yang menghebohkan itu tak berlangsung lama. Dua bulan berselang, setelah merasa punya cukup koleksi foto dan wawancara, Sargent menghilang. Alasannya ketika itu, diusir polisi.

Belakangan terungkap, Sargent menggunakan pernikahan itu sebagai alat untuk melengkapi penelitiannya. Sebab, pada 1974 dia merilis buku berjudul People of the Valley. Sejak itu Sargent tak pernah lagi bisa masuk Indonesia. Sejak itu pula orang tak pernah lagi mendengar tentang Obahorok.

Itu sebabnya, ketika berkunjung ke Wamena, saya tidak berusaha mencari jejak Obahorok atau orang-orang yang pernah hadir di pernikahan paling kontroversial itu. Selain karena tidak yakin bahwa Obahorok masih hidup, juga karena saya cuma punya waktu dua hari.

Semula saya berpikir waktu dua hari terlalu banyak untuk berkunjung ke Wamena. Sekarang saya menyesal, karena seminggu pun bukan waktu yang cukup untuk mengeksplorasi Lembah Baliem dan suku Dani-nya. Sebab, sampai sekarang pun masih cukup banyak warga Dani yang hidup dengan tradisi aslinya: Telanjang, kaum pria berkoteka, hidup di rumah adat, dan menjalankan tradisi potong jari dan potong telinga.

Orang-orang Dani yang masih hidup seperti itu bisa ditemui di Desa Kurulu, sekitar 45 menit dari Kota Wamena. Jangan dibayangkan bahwa mereka tinggal di gunung-gunung, jauh dari kehidupan modern.

Mereka tinggal di satu kampung yang hanya terdiri atas sekitar 10 hone (rumah adat yang terbuat dari ijuk). Kampung itu terletak di tepi jalan raya yang beraspal dan mudah dijangkau dengan mobil.

Meski masih hidup secara primitif, mereka tidak anti kepada orang lain yang sudah berpakaian. Bahkan, mereka senang kalau ada "orang asing" (baca: bukan orang Wamena) berkunjung ke kampungnya. Sebab, itu berarti penghasilan bagi mereka.

Ketika berangkat ke Papua, seorang teman saya, fotografer, mengingatkan saya agar membawa uang seribuan (Rp 1.000) dalam jumlah banyak. Sebab, orang-orang asli itu akan meminta bayaran bila difoto. "Seribu satu kali jepret," kata teman tadi.

Saya tidak membantah anjuran itu, mengingat ini kunjungan pertama saya ke Wamena. Menjelang berangkat, saya menyiapkan 100 lembar uang seribuan yang masih gres, baru. Tetapi, saya juga membawa cukup banyak uang Rp 5 ribuan, Rp 10 ribuan, dan Rp 20 ribuan. Siapa tahu saya butuhkan!

Dengan ditemani Bertho, sopir mobil sewaan, dan Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group di Papua), saya memasuki kampung itu.

Di mulut kampung, saya sudah disambut seorang lelaki setengah baya yang wajahnya menyeramkan, mengenakan topi adat dan koteka. Saya tidak paham apa yang dia katakan, seperti juga dia tidak paham ucapan saya.

Komunikasi antara kami mulai terjalin ketika seorang wanita yang berpakaian lengkap, tanpa alas kaki, datang mendekat. "Mau lihat mumi ya?" sapanya.

Bertho mengiyakan. Tanpa bertanya lagi, wanita itu -dengan diiringi lelaki berkoteka tadi- lantas mengantar kami ke sebuah gubuk di pojok kampung. Di situ ada tiga lelaki yang juga sudah berumur. Mereka juga telanjang, berkoteka, dan mengenakan ikat kepala tradisional.

Melihat pemandangan yang langka itu, tangan saya bergerak mengangkat kamera. Eh... dengan cepat salah seorang dari ketiga lelaki itu bilang, "Lima ribu satu foto. Kalau mumi 20 ribu." Kok naik? Kata teman saya, hanya Rp 1.000.

"Tidak boleh lagi seribu. Itu dulu, sekarang kan harga barang-barang sudah naik semua," jawab salah seorang dari mereka. Wah, ternyata yang primitif cuma cara berpakaiannya. Soal uang, ternyata mereka tidak lagi primitif.

Dari hone yang ada di pojok kampung, lelaki termuda dari tiga orang tadi mengeluarkan sesosok mumi lelaki yang dalam keadaan duduk. Kabarnya, mumi itu sudah berumur 350 tahun. Keadaannya sudah kering seperti kayu.

Setelah beberapa jepretan, mumi dikembalikan ke kotaknya yang ada di dalam hone. Saya ikuti masuk ke dalam rumah adat dari papan, beratap ijuk, berlantai jerami, dan sangat gelap itu. Bapak tadi tidak keberatan, bahkan mempersilakan saya memotret mumi dan "rumahnya" yang berbentuk lemari kayu yang menggantung.

Yang mengejutkan saya, di "rumah" mumi itu tergolek satu kardus bekas kotak mi instan. Di sudut lain duduk seorang lelaki berumur sekitar 40-an dengan pakaian lengkap (celana panjang dan kaus berkerah) sambil mengisap rokok berfilter. Di samping lelaki itu terdapat secangkir kopi dan sebungkus rokok berfilter.

Meski agak heran, saya tidak bertanya tentang hal itu. Setelah beberapa kali jepretan, saya merangkak keluar dari hone yang pintunya sangat pendek.

Di luar hone ternyata sudah berkumpul banyak orang. Ada yang sangat tua, ada yang setengah tua, ada yang masih muda, ada pula anak-anak. Ada lelaki, ada wanita. Semua lelakinya hanya mengenakan koteka. Yang tua membawa tongkat panjang menyerupai tombak. Kaum wanitanya bertelanjang dada. Bagian bawahnya bervariasi. Ada yang ditutup dengan rok, ada pula yang hanya mengenakan rumbai-rumbai dari akar pohon.

Melihat saya mengarahkan kamera, serentak mereka bilang, "Bayar, bayar." Karena objek seperti mereka tak mudah didapat, saya pun mengangguk. Maka beberapa orang pun berjajar. Kaum lelakinya -yang tua sampai anak-anak-berkumpul dengan sesamanya. Yang perempuan juga begitu. Kemudian yang merasa satu keluarga, juga berpose dengan keluarganya.

Setelah beberapa jepretan, tibalah saatnya membayar. Dan, inilah pengalaman paling unik bagi saya. Sebab, masing-masing tahu persis berapa kali saya menjepretnya. Kok tahu?

"Cuma sekali kok motretnya. Yang lain itu tidak jadi," Suyoto yang mendampingi saya mencoba "berhemat."

Mereka tidak percaya. "Dari bunyik kliknya kan bisa dihitung," jawab salah seorang dari mereka.

"Klik itu tadi cuma untuk mencoba kamera. Kan harus difokuskan dulu. Jadi tidak ada fotonya," kilah Suyoto. He he.. Mereka tetap tidak percaya dan ngotot minta dibayar.

Sekali lagi Suyoto berupaya menawar. "Lima ribu untuk semuanya, ya?" Wah, mereka langsung menjawab serempak, "Tidak bisa."

"Makanya, lain kali, sebelum memotret, ibu harus nego harganya dulu," kata Bertho, yang asal Toraja. Hal yang sama diingatkan oleh Joko, koresponden harian Cendrawasih Pos di Wamena yang menemani kami pada hari kedua di kota itu.

Ketika tiba saatnya membayar, lembaran Rp 5 ribuan kami tidak cukup. "Mau tidak dibayar dengan uang Rp 50 ribuan? Nanti dibagi sendiri untuk 10 orang," tanya Suyoto. Mereka mengangguk. Tapi, saya heran, mengapa hal itu ditanyakan?

Jawabannya saya dapatkan saat kami dalam perjalanan meninggalkan Desa Kurulu, tempat kampung Dani itu berada. "Orang-orang itu banyak yang tidak bisa menghitung. Tahunya, uang Rp 10 ribu berwarna merah. Yang Rp 5 ribu berwarna merah. Jadi, kalau Rp 5 ribu dibayar dengan lembaran seribuan, ya mereka tidak mengerti," jelas Bertho. (tulisan besok: pengalaman unik lain di Wamena).



Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)














Foto Orang Rp 5 Ribu, Foto Mumi Rp 20 Ribu
Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)

Seperti kata banyak orang, kunjungan Anda ke Papua belum lengkap kalau belum ke Wamena. Saya sudah membuktikan, ini bukan sekadar ungkapan, tapi fakta. Sebab, ibu kota Lembah Baliem ini memang menyimpan banyak cerita dan gambar. Dan, inilah pengalaman wartawan JPNN, NANY WIJAYA memotret di sana.

SEJAK puluhan tahun lalu, nama Lembah Baliem sudah terkenal. Bahkan, para ahli antropologi di Barat menyebutnya sebagai museum hidup. Sebab, sampai zaman sudah modern, suku yang hidup di kaki Pegunungan Jayawijaya itu masih mempertahankan budaya aslinya.

Sebelum 1970-an, pemerintah masih mengizinkan orang asing melakukan penelitian antropologi di daerah tersebut. Inilah sebabnya, mengapa Dani menjadi suku yang paling banyak disebut dalam buku-buku dan tesis-tesis antropologi.

Tetapi, penelitian itu sempat dilarang selama beberapa dekade, setelah terjadi dua peristiwa menghebohkan. Yang pertama, karena hilangnya Michael Rockefeller, anak kesayangan orang terkaya di dunia David Rockefeller, ketika berkunjung ke Lembah Baliem. Kedua, setelah terjadinya pernikahan paling kontroversial antara Obahorok Doga, kepala suku Dani dengan Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika Serikat yang mengaku sebagai antropolog.

Dari banyak suku yang hidup di Papua, nama Dani memang paling dikenal. Bukan karena suku ini yang paling banyak diteliti, tetapi karena suku ini paling gemar berperang. Hal itulah yang kemudian menjadikan suku ini paling banyak diteliti antropolog. Karena itu pula, suku tersebut mendapat julukan The Headhunter. Si pemburu kepala.

Gelar itulah, tampaknya, yang membuat Sargent datang ke Wamena dan kemudian menawarkan diri untuk menjadi istri Obahorok, yang ketika itu sudah punya 10 istri. Tawaran Sargent itu tentu menjadi kejutan yang menggembirakan bagi Obahorok, istri-istrinya, dan seluruh warga Dani. Sebagai wujud kegembiraan mereka, digelarlah wam mawe (pesta pernikahan) besar-besaran selama 10 hari 10 malam. Lebih dari 60 babi disembelih dan dibakar dalam pesta itu.

Sebagaimana pengantin suku Dani, Sargent pun kabarnya juga bertelanjang dada dan mengenakan yokal (rok pengantin perempuan).

Sesudahnya, dia juga tidur sebagai suami istri. Dan seusai pesta pun, Sargent pergi ke ladang sebagaimana istri-istri Obahorok yang lain.

Sayangnya, pernikahan yang menghebohkan itu tak berlangsung lama. Dua bulan berselang, setelah merasa punya cukup koleksi foto dan wawancara, Sargent menghilang. Alasannya ketika itu, diusir polisi.

Belakangan terungkap, Sargent menggunakan pernikahan itu sebagai alat untuk melengkapi penelitiannya. Sebab, pada 1974 dia merilis buku berjudul People of the Valley. Sejak itu Sargent tak pernah lagi bisa masuk Indonesia. Sejak itu pula orang tak pernah lagi mendengar tentang Obahorok.

Itu sebabnya, ketika berkunjung ke Wamena, saya tidak berusaha mencari jejak Obahorok atau orang-orang yang pernah hadir di pernikahan paling kontroversial itu. Selain karena tidak yakin bahwa Obahorok masih hidup, juga karena saya cuma punya waktu dua hari.

Semula saya berpikir waktu dua hari terlalu banyak untuk berkunjung ke Wamena. Sekarang saya menyesal, karena seminggu pun bukan waktu yang cukup untuk mengeksplorasi Lembah Baliem dan suku Dani-nya. Sebab, sampai sekarang pun masih cukup banyak warga Dani yang hidup dengan tradisi aslinya: Telanjang, kaum pria berkoteka, hidup di rumah adat, dan menjalankan tradisi potong jari dan potong telinga.

Orang-orang Dani yang masih hidup seperti itu bisa ditemui di Desa Kurulu, sekitar 45 menit dari Kota Wamena. Jangan dibayangkan bahwa mereka tinggal di gunung-gunung, jauh dari kehidupan modern.

Mereka tinggal di satu kampung yang hanya terdiri atas sekitar 10 honai (rumah adat yang terbuat dari ijuk). Kampung itu terletak di tepi jalan raya yang beraspal dan mudah dijangkau dengan mobil. Meski masih hidup secara primitif, mereka tidak anti kepada orang lain yang sudah berpakaian. Bahkan, mereka senang kalau ada “orang asing” (baca: bukan orang Wamena) berkunjung ke kampungnya. Sebab, itu berarti penghasilan bagi mereka.

Ketika berangkat ke Papua, seorang teman saya, fotografer, mengingatkan saya agar membawa uang seribuan (Rp 1.000) dalam jumlah banyak. Sebab, orang-orang asli itu akan meminta bayaran bila difoto. “Seribu satu kali jepret,” kata teman tadi.

Saya tidak membantah anjuran itu, mengingat ini kunjungan pertama saya ke Wamena. Menjelang berangkat, saya menyiapkan 100 lembar uang seribuan yang masih gres, baru. Tetapi, saya juga membawa cukup banyak uang Rp 5 ribuan, Rp 10 ribuan, dan Rp 20 ribuan. Siapa tahu saya butuhkan!

Dengan ditemani Bertho, sopir mobil sewaan, dan Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group di Papua), saya memasuki kampung itu.

Di mulut kampung, saya sudah disambut seorang lelaki setengah baya yang wajahnya menyeramkan, mengenakan topi adat dan koteka. Saya tidak paham apa yang dia katakan, seperti juga dia tidak paham ucapan saya.

Komunikasi antara kami mulai terjalin ketika seorang wanita yang berpakaian lengkap, tanpa alas kaki, datang mendekat. “Mau lihat mumi ya” sapanya.

Bertho mengiyakan. Tanpa bertanya lagi, wanita itu -dengan diiringi lelaki berkoteka tadi- lantas mengantar kami ke sebuah gubuk di pojok kampung. Di situ ada tiga lelaki yang juga sudah berumur. Mereka juga telanjang, berkoteka, dan mengenakan ikat kepala tradisional.

Melihat pemandangan yang langka itu, tangan saya bergerak mengangkat kamera. Eh, dengan cepat salah seorang dari ketiga lelaki itu bilang, “Lima ribu satu foto. Kalau mumi 20 ribu. “Kok naik? Kata teman saya, hanya Rp 1.000,” kata teman saya. “Tidak boleh lagi seribu. Itu dulu, sekarang kan harga barang-barang sudah naik semua,” jawab salah seorang dari mereka. Wah, ternyata yang primitif cuma cara berpakaiannya. Soal uang, ternyata mereka tidak lagi primitif.

Dari honai yang ada di pojok kampung, lelaki termuda dari tiga orang tadi mengeluarkan sesosok mumi lelaki dalam keadaan duduk. Kabarnya, mumi itu sudah berumur 350 tahun. Keadaannya sudah kering seperti kayu.

Setelah beberapa jepretan, mumi dikembalikan ke kotaknya yang ada di dalam honai. Saya ikuti masuk ke dalam rumah adat dari papan, beratap ijuk, berlantai jerami, dan sangat gelap itu. Bapak tadi tidak keberatan, bahkan mempersilakan saya memotret mumi dan “rumahnya” yang berbentuk lemari kayu yang menggantung.

Yang mengejutkan saya, di “rumah” mumi itu tergolek satu kardus bekas kotak mi instan. Di sudut lain duduk seorang lelaki berumur sekitar 40-an dengan pakaian lengkap (celana panjang dan kaus berkerah) sambil mengisap rokok berfilter. Di samping lelaki itu terdapat secangkir kopi dan sebungkus rokok berfilter.

Meski agak heran, saya tidak bertanya tentang hal itu. Setelah beberapa kali jepretan, saya merangkak keluar dari honai yang pintunya sangat pendek.

Di luar honai ternyata sudah berkumpul banyak orang. Ada yang sangat tua, ada yang setengah tua, ada yang masih muda, ada pula anak-anak. Ada lelaki, ada wanita. Semua lelakinya hanya mengenakan koteka. Yang tua membawa tongkat panjang menyerupai tombak. Kaum wanitanya bertelanjang dada. Bagian bawahnya bervariasi. Ada yang ditutup dengan rok, ada pula yang hanya mengenakan rumbai-rumbai dari akar pohon.

Melihat saya mengarahkan kamera, serentak mereka bilang, “Bayar, bayar”. Karena objek seperti mereka tak mudah didapat, saya pun mengangguk. Maka beberapa orang pun berjajar. Kaum lelakinya -yang tua sampai anak-anak- berkumpul dengan sesamanya. Yang perempuan juga begitu. Kemudian yang merasa satu keluarga, juga berpose dengan keluarganya.

Setelah beberapa jepretan, tibalah saatnya membayar. Dan, inilah pengalaman paling unik bagi saya. Sebab, masing-masing tahu persis berapa kali saya menjepretnya. Kok tahu?

“Cuma sekali kok motretnya. Yang lain itu tidak jadi,” kata Suyoto yang mendampingi saya mencoba “berhemat”. Mereka tidak percaya. “Dari bunyik kliknya kan bisa dihitung,” jawab salah seorang dari mereka.

“Klik itu tadi cuma untuk mencoba kamera. Kan harus difokuskan dulu. Jadi tidak ada fotonya,” kilah Suyoto. He he.. Mereka tetap tidak percaya dan ngotot minta dibayar.

Sekali lagi Suyoto berupaya menawar. “Lima ribu untuk semuanya, ya. Wah, mereka langsung menjawab serempak, “Tidak bisa”. “Makanya, lain kali, sebelum memotret, ibu harus nego harganya dulu,” kata Bertho, yang asal Toraja.

Hal yang sama diingatkan oleh Joko, koresponden harian Cendrawasih Pos di Wamena yang menemani kami pada hari kedua di kota itu. Ketika tiba saatnya membayar, lembaran Rp 5 ribuan kami tidak cukup. “Mau tidak dibayar dengan uang Rp 50 ribuan? Nanti dibagi sendiri untuk 10 orang,” tanya Suyoto. Mereka mengangguk. Tapi, saya heran, mengapa hal itu ditanyakan.

Jawabannya saya dapatkan saat kami dalam perjalanan meninggalkan Desa Kurulu, tempat kampung Dani itu berada. “Orang-orang itu banyak yang tidak bisa menghitung. Tahunya, uang Rp 10 ribu berwarna merah. Yang Rp 5 ribu berwarna merah. Jadi, kalau Rp 5 ribu dibayar dengan lembaran seribuan, ya mereka tidak mengerti,” jelas Bertho. (tulisan besok: pengalaman unik lain di Wamena)

Lembah Baliem, Pesona Alam Tiada Batas

Lembah Baliem, Pesona Alam Tiada Batas

detius yoman

Bahkan, grup Slank pun terpesona pada keindahan Lembah Baliem di Papua. Lembah yang dikelilingi gunung batu bersalju itu memang sangat terkenal di dunia, tetapi di Indonesia sendiri seakan tenggelam karena letak geografis Papua yang jauh dan relatif sulit dicapai dari bagian Indonesia lain di bagian barat.

Sekilas eksotisme Lembah Baliem dengan Kota Wamena di tengahnya datang dari keunikan penduduk setempat yang masih hidup seperti pada zaman batu. Pada masyarakat suku Dani, Lani, dan Jali yang menghuni Lembah Baliem sampai ke lereng Pegunungan Jayawijaya, masih banyak pria berkoteka atau hanya menutup auratnya dengan sejenis kulit labu. Juga, masih ada beberapa alat rumah tangga dari batu yang mereka pergunakan.

Berwisata karena keterbelakangan orang lain memang bukanlah hal yang baik. Sekilas kita seakan menginginkan Papua atau Lembah Baliem tidak pernah maju demi wisata. Maka, bila membicarakan wisata Lembah Baliem, sebaiknya kita mendasarkan perjalanan pada keindahan alamnya yang luar biasa.

Dan ternyata orang Jerman lebih dulu jeli melihat keindahan alam Lembah Baliem sebagai aset wisata. Di selatan Kota Wamena telah berdiri hotel di atas bukit bernama Baliem Valley Resort. Pemandangan dari hotel itu indah sekali. Sayangnya, tarif hotel itu mungkin tak terjangkau bagi turis domestik karena tinggi sekali secara umum dan juga dalam dollar AS. Bila Anda berminat, Anda bisa membuka situs mereka di

Namun, jangan khawatir. Hotel dengan tarif wajar cukup banyak di Wamena. Yang Anda perlukan adalah datang dulu ke Jayapura, ibu kota Papua, kemudian untuk menuju Wamena, Anda punya banyak sekali pilihan penerbangan, yaitu antara lain Trigana, MAF, AMA, Yajasi, Manunggal Air, atau pesawat Hercules.

Yang harus Anda persiapkan lebih adalah tingginya harga barang di Wamena. Untuk makan di warung kelas warteg, Anda harus merogoh uang minimal Rp 25.000 atau sekitar dua kali lebih mahal daripada Jakarta. Harga bensin yang di tempat lain Rp 4.500 per liter, di Wamena Rp 11.000. Semua harga di Wamena lebih tinggi daripada di tempat lain karena semua barang datang melalui udara. Wamena belum punya hubungan darat dengan tempat lain, termasuk ibu kota Papua, Jayapura.

Obyek wisata Lembah Baliem

Kalau Anda suka berjalan kaki lintas alam naiklah kendaraan umum ke Sogokmo, sekitar 15 kilometer dari Wamena. Dari tempat itu, Anda bisa mendaki gunung ke Desa-desa Holesi, Seinma, dan Ninia yang masih asli dengan rumah-rumah honai. Beberapa kilometer setelah Sogokmo, sebelum mulai mendaki Pegunungan Jayawijaya, Anda akan menyeberangi padang rumut luas, lalu menyeberangi Sungai Baliem yang sangat deras pada musim hujan lewat jembatan gantung.

Medan lintas alam lain yang menarik adalah menuju Kecamatan Makki atau Kecamatan Perime. Dari sana Anda bisa turun ke lembah-lembah penuh kebun sayur dan desa-desa yang indah. Dan bila fisik Anda sangat prima, Anda bisa naik ke Puncak Trikora atau bahkan Puncak Cartenz. Ada pemandu bernama Rommy Wenda yang bisa mengantar Anda untuk melakukan perjalanan selama berminggu-minggu ini. Rommy sering nongkrong di Hotel Baliem Pilamo, hotel lokal terbaik di Wamena.

Namun, bila Anda tidak suka lintas alam, Lembah Baliem punya Desa Kurulu yang sangat terkenal karena punya mumi berusia sekitar 350 tahun. Sebenarnya ada dua desa suku Dani lain yang juga punya mumi, yaitu Aikima dan Pummo. Namun, mumi di Kurulu lebih baik kondisinya, selain tempatnya memang sudah dipersiapkan untuk menjadi tujuan wisata. Kurulu yang jaraknya sekitar 50 kilometer di utara Wamena sebaiknya dicapai dengan mobil sewaan. Di hotel-hotel Wamena biasanya tersedia mobil yang siap mengantar kita ke Kurulu.

Ingin kenang-kenangan dari Lembah Baliem? Umumnya orang hanya tahu koteka sebagai cenderamata dari Papua. Namun, di Lembah Baliem Anda bisa mendapat lebih dari itu. Di Wamena sendiri mudah dijumpai toko-toko cenderamata yang menjual aneka kapak batu, kalung tradisional, dasi kepala suku, tas noken, sampai tempat air dari labu. Penjual barang kerajinan di Wamena umumnya pendatang dari luar pulau. Dan kalau Anda ingin membeli dari penduduk asli, Desa Kurulu telah menyediakan sebuah warung penjualan cenderamata.

Ke Wamena, Menikmati Udang Selingkuh BY .detty

Ke Wamena, Menikmati Udang Selingkuh

Mumi berusia 370 tahun itu dipayungi dua orang berkoteka.

Sudah waktunya makan siang ketika kami tiba di Wamena, Papua, pada pertengahan Desember tahun lalu. Sejenak melepas lelah, setelah berjam-jam terbang dari Jakarta menuju Sentani dilanjutkan dari Bandar Udara Sentani ke Wamena, dengan pesawat ATR 72-200 dari maskapai Triguna.

Rumah makan Blambangan, yang menurut kami paling bagus di daerah itu, menjadi sasaran kami untuk mengisi perut dan melepas dahaga. Rumah makan ini dilayani oleh gadis-gadis muda berpakaian modis. Karena masih flu, saya tak tertarik dengan sajian jus terong Belanda dan jus pokat. Saya memesan jeruk panas. Tanpa es, rasanya nikmat.

Saya mencoba mentimun dari kelompok lalapan. Rasanya manis. Juga wortelnya. Di sini tidak ada yang menggunakan pestisida.

"Oh, jadi tanaman organik, ya?" tanya saya.

"Ya, tanaman organik," ucap pemilik rumah makan itu. Esoknya, di pasar, kami melihat kubis alias kol sedikit berlubang-lubang alias dimakan ulat. Itu pertanda kol tidak disemprot dengan pestisida.

Makanan lain adalah ikan mujair goreng. Tapi yang paling nikmat adalah lauk utama: "udang selingkuh". Kenapa disebut udang selingkuh? Alasannya sederhana. Badannya memang udang, tapi sepit utamanya seperti sepit kepiting. Jadi perpaduan udang dengan kepiting, yang hidup di air tawar, terutama di Sungai Baliem yang mengalir di pinggir Wamena.

Jenis udang ini terdapat di Papua dan Australia. Ada yang besar, sebesar udang galah. Banyak yang kecil-kecil, yang kini banyak dibudidayakan di Pulau Jawa, yang dikenal sebagai lobster air tawar. Yang jelas rasanya amat manis, terutama yang sebesar jari orang dewasa. Saya coba yang besar, rasa manisnya agak kurang. Tapi secara keseluruhan nikmat. Apalagi cara penggorengannya memang cocok. Saya lihat minyaknya berwarna merah. Udangnya memang merah.

Sesampainya di Hotel Baliem Pilamo, kami hanya beristirahat sebentar.

"Sore biasanya hujan, Pak. Mumpung lagi cerah, kita langsung melihat mumi dan gua!" ucap Martin, yang menemani kami.

Dengan mobil Triton, yang cocok untuk daerah pegunungan, kami keluar dari kota sekitar 2 kilometer. Mobil memasuki jalan tanah yang mengeras. Setelah memarkir mobil di pelataran yang dikelilingi pohon-pohon besar, kami memasuki kompleks perumahan berpagar kayu, dengan pintu gerbangnya antik.

Sekelompok orang sedang membakar batu untuk memasak talas dan ubi jalar. Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa harus membakar batu dulu baru memasak talas? Api untuk memanaskan batu saja sudah mampu mematangkan talas. Tapi, ya, itulah adat mereka.

Mari kita beralih ke mumi, yang dipegangi seseorang sambil duduk dan bersembunyi di balik mumi. Dua orang dewasa mengenakan koteka memayunginya. Alex, seorang kepala suku, menjelaskan bahwa usia mumi itu sudah 370 tahun. Itu terlihat dari jumlah kalungnya yang dipasang setiap lima tahun.

Gerimis mulai turun. Kami memasuki "honai", rumah orang Wamena yang terbuka, tempat berkumpul kaum lelaki. Honai tempat menyimpan mumi itu khusus untuk kaum lelaki dewasa. Di sebelah kanannya, honai untuk perempuan berdekatan dengan honai untuk anak-anak.

Di honai untuk dapur dan gudang makanan, sekelompok ibu tua meminta rokok kepada saya. Untunglah teman saya membawa banyak rokok untuk disuguhkan kepada Alex dan kawan-kawan. Perbincangan pun berlangsung akrab diselingi tawa.

"Kalau mau 'begituan' gimana?" tanya saya kepada Alex tentang hubungan seks.
"Oh, tinggal kasih kode, pergi ke hutan!" jawabnya.
"Ini masih bisa?" tanya saya kepada orang tua di samping saya.
"Saya tidak bisa lagi!" jawabnya sambil tertawa.
"Kalau berfoto sama yang bergelantungan bagaimana?"

"Bisa Ibu, tapi yang tadi dibayar dulu," jawab Alex. Teman saya merogoh kocek Rp 250 ribu untuk melihat dan berfoto-foto dengan mumi. Untuk berfoto dengan ibu-ibu diperlukan Rp 100 ribu lagi.

Kembali ke penginapan, hujan turun.

Malam di Wamena ternyata alamiah sekali. Dinginnya bukan main. Wamena berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Sangat terasa dingin ketika malam tiba.

Keesokan harinya, seusai sarapan, saya sempatkan berjalan-jalan di sekitar hotel. Lalu dengan mobil Triton, yang di Wamena seharga Rp 400 juta padahal di Jakarta Rp 280 juta, kami keluar dari kota. Dalam perjalanan ini barulah terlihat betapa pentingnya penggunaan mobil tersebut. Dua kilometer jalanan masih bagus. Begitu berbelok ke kanan, melewati Sungai Baliem, jalanan sedikit menanjak dan menanjak lagi, melalui jalanan yang terbuat dari batu-batu. Jalanan mendaki terus, sampai ke puncak, tempat The Baliem Valley Resort, yang merupakan kerja sama Jerman-Indonesia.

Bangunan utama resor ini berupa bangunan kayu yang sedang direnovasi, agaknya yang menjadi kantor, pelayanan tamu, tempat makan, serta lobi yang memuat beragam patung dan ukiran, baik Asmat maupun dari Lembah Baliem. Di bangunan itu pula terdapat pelataran untuk memandang ke lembah, dan nun di kejauhan terlihat Kota Wamena. Di lobi ini pula dipajang kerangka kepala buaya besar, burung kasuari, serta sebuah lemari yang diisi beberapa puluh buku.

Berkunjung ke Wamena, tak afdal jika tak belanja untuk oleh-oleh pulang ke Jakarta. Karena itu, saya sempatkan pula mengunjungi pasar tradisional Wamena dengan naik becak. Dari hotel, ongkos normal Rp 8.000. Teman saya membayar Rp 50 ribu untuk dua becak.

Pasar masih sepi Minggu itu karena waktunya orang pergi ke gereja. Udang selingkuh yang ditawarkan seorang penjual tak menarik minat saya. Saya lebih tertarik hasil rajutan berwarna-warni yang ditawarkan seorang wanita muda. Saya beli satu walau harganya relatif mahal, Rp 200 ribu.

Suvenir? Tentu saya tak lupa. Di New Guinea Art Shop, toko suvenir dekat hotel, saya membeli tas kulit kayu, hiasan dinding, kalung dan gelang, serta sebuah patung seorang ibu yang menggendong bayinya. Harga patung ini lumayan: Rp 350. Semua itu kami bawa pulang, dengan pesawat jenis ATR 72-200. Berakhirlah perjalanan saya ke Wamena.

DEDES ERLINA, Penikmat Perjalanan, Tinggal di Jakarta

Perjalanan Saat Hamil

Selama hamil, bolehkah melakukan perjalanan? Tentu saja Anda tak mungkin mendaki gunung, menyusuri gua, atau bertualang ke tempat-tempat yang berbahaya saat hamil. Begitu juga, kebanyakan dokter menyarankan agar wanita hamil tidak melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria.

Tapi, jika berwisata ke pantai atau ke tempat-tempat yang tidak berbahaya, pada umumnya dokter mengizinkan dengan syarat tidak terdapat masalah dalam kehamilan Anda. Robin Elise Weiss, dokter spesialis kandungan di Louisville, Amerika Serikat, punya saran, jika Anda melakukan perjalanan dengan pesawat, mobil, atau perahu, perhatikan sejumlah hal agar perjalanan Anda nyaman dan aman.

Bawa Camilan
Ngemil selama terbang dengan pesawat atau perjalanan jauh dengan mobil dapat membantu Anda meyakinkan bahwa Anda tidak akan lapar.

Gerak Badan
Saat di dalam mobil atau pesawat udara, menggerak-gerakkan badan setiap beberapa jam merupakan sebuah keharusan. Ini akan membantu mencegah pegal-pegal dan darah menggumpal.

Cegah Dehidrasi
Wanita hamil membutuhkan banyak cairan. Perjalanan membuatnya sangat mudah mengalami dehidrasi. Bawalah minuman dalam botol.

Baju untuk Perjalanan
Pakailah baju yang cocok untuk perjalanan. Ketika terbang dengan pesawat atau mobil, Anda tidak akan selalu sempat mengontrol suhu.

Sementara itu, Charlie Easmon, dokter di sebuah rumah sakit swasta di London, Inggris, mengatakan bahwa wanita hamil bisa melakukan perjalanan secara aman, bahkan ke tempat yang eksotis. Tapi penting untuk menyadari sejumlah faktor, seperti asuransi, vaksinasi, dan obat-obatan.

Khusus perjalanan dengan pesawat, menurut Easmon, ada sejumlah aturan khusus yang mesti dipahami oleh wanita hamil. Peraturan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Internasional (IATA) menyebutkan bahwa wanita hamil boleh terbang dalam masa kehamilan 36 sampai 38 minggu jika waktu penerbangan tidak lebih dari empat jam. Namun, beberapa maskapai tidak mau mengangkut wanita yang usia kehamilannya telah mencapai 36 minggu. Begitu juga, biasanya perusahaan penerbangan menolak menerbangkan wanita hamil yang sebelumnya pernah melahirkan secara prematur atau memiliki penggumpalan darah di nadi betisnya.

Jumat, Mei 15, 2009

Segenap rakyat dan bangsa papua barat mendukung penuh terhadap peluncuran ILWP di amerika serikat untuk masa depan papua barat.
Dalam pernyataan sikapnya menyatakan pembebasan bangsa papua dari jajahan NKRI adalah Hal yang mutlak dilakukan karena perjuangan Kemerdekaan NKRI, orang papua tidak pernah terlibat dalam perjuangannya maka kemerdekaan bangsa papua adalah harga diri yang harus diangkat melalui forum - forum internasional, untuk peluncuran ini juga merupakan bagian dari upaya dan proses perjuangan maka kami segenap bangsa papua barat mendunkung penuh peluncuran ini

Photo News Demo: Thousands of people rallied In West Papua Suportihng ILWP

Segenap rakyat dan bangsa papua barat mendukung penuh terhadap peluncuran ILWP di amerika serikat untuk masa depan papua barat.
Dalam pernyataan sikapnya menyatakan pembebasan bangsa papua dari jajahan NKRI adalah Hal yang mutlak dilakukan karena perjuangan Kemerdekaan NKRI, orang papua tidak pernah terlibat dalam perjuangannya maka kemerdekaan bangsa papua adalah harga diri yang harus diangkat melalui forum - forum internasional, untuk peluncuran ini juga merupakan bagian dari upaya dan proses perjuangan maka kami segenap bangsa papua barat mendunkung penuh peluncuran ini



Kapolda: ILWP Bertentangan Dengan Hukum Indonesia

JAYAPURA -Kapolda Papua, Irjen Pol Drs FX Bagus Ekodanto menilai bahwa isu tentang rencana peluncuran Internasional Lawyer for West Papua (ILWP) mengenai right of self determination in West Papua bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku.
"ILWP ini, sebetulnya tidak ada di alam Negara yang berdaulat dan itu bertentangan dengan hukum internasional maupun hukum Indonesia," tegas Kapolda Papua Bagus Ekodanto kepada Cenderawasih Pos via telepon selulernya, Sabtu (4/4) kemarin.
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, jelas Kapolda, telah menyatakan bahwa keabsahan Pepera di Papua pada tahun 1969 (act of free choice), Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah secara tegas menyatakan keabsahan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tersebut.
Bahkan, lanjutnya, keberhasilan Pepera di Papua tersebut juga telah dinyatakan oleh Martin Ira Glassner dalam bukunya yang berjudul 'The United Nations at Work' tahun 1998 lalu, yang menyatakan bahwa 'The UN's Record in Postcolonial Territorial Dispustes is not good, with West Irian the Solitary Succes atau catatan atas kinerja PBB dalam menangani sengketa wilayah paska colonial biasanya tidak bagus, namun penanganan untuk Irian Barat merupakan contoh sukses satu-satunya.
Dengan demikian, tegas Kapolda, pernyataan organisasi yang menamakan diri sebagai Internasional Lawyers for West Papua menjadi Right of Self Determination in West Papua adalah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku.
Untuk itu, Kapolda Bagus Ekodanto, sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat di Indonesia khususnya di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, agar tidak terpancing dengan upaya distorsi atas kegiatan kelompok pro kemerdekaan di Inggris tersebut.
"Saya himbau agar masyarakat di Papua tidak terpancing dengan upaya pendistorsiaan terkait kegiatan menyambut peluncuran ILWP tersebut," ujar Bagus Ekodanto.
Pernyataan dari Departemen Luar Negeri Republik Indonesia ini, lanjut Kapolda, terkait dengan status Indonesia sebagai Negara pihak kepada Kovenan Internasional mengenai hak-hak sipil dan politi (ICCPR) serta Kovenan Internasional mengenaik hak-hak ekonomi, social dan budaya (ICESCR), dan sejalan pula dengan standar-standar universal Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional lainnya.
Maka pemerintah Republik Indonesia menegaskan kembali deklarasinya yang dibuah dibawa ICCPR dan ICESRCR bahwa sesuai dengan Declaration on the Granting of Indenpence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of Internasional Law Concerning Friendly Relation and Cooperation Among State, serta paragraph yang relevan dengan Deklarasi dan Program Aksi WIna tahun 1993, maka istilah the right of self determination yang muncul dalam pasal 1 ICESCR dan ICCPR tidak berlaku bagi mereka yang berada dalam Wilayah Negara merdeka dan berdaulat serta tidak boleh ditafsirkan sebagai mengesahkan atau mendorong tindakan yang dapat memisahkan atau menghalangi, baik sebagian atau secara keseluruhan keutuhan wilayah atau persatuan dan kesatuan dari Negara yang merdeka dan berdaulat.
Apalagi, sejalan dengan hal tersebut, dalam pasal 46 ayat 1 dari Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Indigenous Peoples (United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples) menyatakan bahwa Tidak ada dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan membenarkan suatu Negara, masyarakat, kelompok atau orang perorang berkenaan dengan hak apapun untuk terlibat pada suatu kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan piagam PBB atau ditafsirkan memberikan kewenangan atau mendorong suatu tindakan yang dapat mengurangi atau menghilangkan baik seluruhnya atau sebagian integritas atau kesatuan politik dari suatu Negara yang berdaulat dan independen.
Di samping itu, Kapolda menambahkan bahwa bangsa Indonesia adalah Negara pihak pada ICCPR dan sejalan dengan pasal 19 ayat 3 ICCPR, pelaksanaan hak untuk menyatakan pendapat, menimbulkan kewajiban dan tanggungjawab khusus yang dapat dikenakan pembatasan tertentu sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional, atau ketertiban umum atau kesehatan dan moral umum.
Sementara itu, dalam beberapa hari terakhir beredar selebaran yang mengajak untuk melakukan unjuk rasa menyambut peluncuran ILWP di Amerika Serikat 3 - 5 April 2009 oleh Koordinator ILWP Mrs Melinda Jankie, pengacara Internasional yang didukung Benny Wenda di Londong, yang rencananya akan dipusatkan di depan Expo Waena pada 6 April 2009 besok.
Bahkan, dalam selebaran itu diklaim bahwa ILWP dianggap sebagai suatu media hukum internasional yang menghimpun pengacara-pengacara internasional yang bertujuan meningkatkan hukum Papua Barat dalam NKRI tidak sah. Selain itu, diklaim juga ILWP akan didorong terjadinya referendum.(bat)

28 Januari, 2009

Buchtar Tabuni Diserahkan ke Jaksa


JAYAPURA-Meski tetap memilih bungkam selama dalam penanganan kepolisian, namun proses Buchtar Tabuni, Ketua Panitia IPWP (Internasional Parlement of West Papua), tetap jalan. Buktinya, tersangka kasus dugaan makar pada demo yang digelar di depan Expo Waena, 16 Oktober 2008 lalu, diserahkan ke jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jayapura, Rabu (28/1), kemarin.
Penyerahan tersangka ini sempat molor 2 jam. Sebab informasi yang beredar penyerahan tersangka semula akan dilakukan sekitar pukul 10.00 wit, namun Buchtar Tabuni baru dijemput penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua dari rutan, pukul 12.00 WIT.
Selanjutnya, Buchtar yang didampingi Iwan Niode SH salah seorang anggota Tim Penasehat Hukumnya, menandatangani berita acara, selanjutnya masuk ke mobil tahanan untuk dibawa ke Kantor Kejaksaan.
Tersangka sempat menyapa dengan mengangkat kedua tangannya kepada belasan wartawan yang sejak 2 jam nyanggong di Mapolda Papua untuk meliput penyerahan Buchtar Tabuni ke jaksa. "Oke daa..." kata Buchtar.
Buchtar yang mengenakan baju dan celana kebanggaannya bersama topi yang seragam motifnya seperti loreng, tidak mau diwawancarai wartawan saat berjalan ke mobil tahanan tersebut dan mengisyaratkan kepada pengacaranya.
Direktur Reserse dan Kriminal Polda Papua, Kombes Pol Drs Paulus Waterpauw mengungkapkan, kasus makar dengan tersangka Buchtar Tabuni sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan.
"Berkasnya sudah P21 atau lengkap pada Selasa (27/1) kemarin. Karena berkasnya sudah tidak ada masalah lagi, sehingga kami serahkan tersangka dan barang buktinya ke jaksa," kata Direskrim Paulus Waterpauw saat dihubungi via telepon selulernya.
Dengan demikian, lanjut Paulus Waterpauw, penanganan proses hukum selanjutnya dilakukan kejaksaan guna proses penuntutan dalam persidangan di Pengadilan nantinya.
Soal tersangka Seby Sembum yang ditangkap beberapa minggu kemudian dalam kasus makar dari rangkaian penahanan tersangka Buchtar Tabuni, Direskrim mengungkapkan bahwa berkasnya masih P19, sehingga masih perlu dilengkapi lagi.
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama kami juga akan serahkan ke jaksa," imbuh mantan Kapolresta Jayapura ini.
Sementara itu, Penasehat Hukum Buchtar Tabuni, Iwan Niode mengatakan,
penyerahan kliennya ke jaksa penuntut umum tersebut, karena berkas penyidikannya telah masuk tahap II.
"Dengan penyerahan tersangka dan barang buktinya ke jaksa ini, kami berharap berkasnya segera dilimpahkan ke pengadilan untuk proses hukum selanjutnya," kata Iwan Niode.
Apalagi, kata Iwan, mengingat kasus ini sudah cukup lama dan hak tersangka untuk segera diproses hukum karena berkas penyidikannya telah selesai.
Untuk itu, lanjut Iwan Niode, tim penasihat hukum Buchtar Tabuni akan berkoordinasi untuk persiapan menghadapi persidangan terhadap kliennya tersebut dan mempersiapkan pembelaan.
"Bagi tim PH akan berkoordinasi dalam 1 atau 2 hari ke depan untuk melakukan langkah-langkah hukum," ujarnya.
Soal bungkamnya Buchtar Tabuni selama menjadi tersangka dan menolak saat dimintai keterangan oleh penyidik? Iwan Niode mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hak yang bersangkutan untuk bungkam, apalagi hal itu dilindungi undang-undang, sehingga aparat penyidik tidak perlu memaksa dan hanya membuat berita acara penolakan.
"Saya sudah berkoordinasi dengan Buchtar Tabuni, ia beralasan sudah dimintai keterangan sebagai saksi oleh penyidik sebelumnya dan ia akan membeberkan keterangannya sebagai tersangka di persidangan nanti," jelasnya.
Hal ini, kata Iwan Niode, seperti beberapa kasus dimana tersangka tidak mau diambil keterangan sebagai tersangka, diantaranya kasus Munarman yang diduga terlibat rusuh di Jakarta.
Sementara itu, Kajari Jayapura, Sugeng Pujianto SH, MHum mengatakan pihaknya akan meneliti berkas penyerahan tersangka Buchtar Tabuni bersama barang buktinya.
"Setelah itu, kami akan segera susun dakwaan untuk segera disidangkan di pengadilan," ujar Sugeng.
Kajari Sugeng mengatakan bahwa pihaknya akan menitipkan tersangka Buchtar Tabuni ke Lembaga Pemasyarakatan Abepura.
Tampak kesibukan 3 jaksa yang menangani kasus makar yang melibatkan tersangkanya Buchtar Tabuni ini, melakukan pemeriksaan berkas kasus tersebut, diantaranya jaksa Maskel Rambolangi SH, ES Hutomo SH dan Michael Rambi SH.
Barang bukti yang diserahkan penyidik ini, antara lain, surat pernyataan sikap, CD aksi demo di Expo Waena dan foto-foto, selebaran yang diduga terkait kasus makar yang melibatkan tersangka Buchtar Tabuni. Dan, tersangka dijerat dengan pasal 106, 107 dan 110 KUHP tentang perbuatan makar. (bat)

26 Desember, 2008

Gubernur Bangga, Jayawijaya Dipimpin Orang-orang Muda

Pelantikan Bupati/Wakil Bupati Jayawijaya Lancar
WAMENA-Sebagaimana dijadwalkan sebelumnya, akhirnya pasangan bupati/wakil bupati terpilih kabupaten Jayawijaya periode 2008-2013 atas nama Jhon Wempi Wetipo, S. Sos, M.Par/Jhon Richard Banua dilantik oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH atas nama Mendagri H. Mardiyanto. Pelantikan pasangan 'Jojon' ini berlangsung dalam suatu rapat paripurna istimewa di gedung DPRD Jayawijaya Selasa (23/12). Acara ini berjalan lancar dan khidmad dipimpin oleh Ketua DPRD Yance Fery Kogoya.
Upacara pelantikan yang dimulai pukul 10.00 tepat itu berakhir hingga pukul 11.30. Tampak hadir dalam acara pelantikan itu sejumlah pejabat dari provinsi Papua, seperti Kasdam XVII Cenderawasih Brigjen TNI Hambali, Waka Polda Papua Brigjen Pol Drs. Ahmad Riyadi Koni, SH, Bupati Pegunungan Bintang, Welington Wenda, penjabat bupati Nduga Drs. Hans. D. Maniagasi, penjabat bupati Mamberamo Tengah David Pagawak, S. Sos dan muspida Jayawijaya.
Dalam kesempatan itu gubernur Barnabas Suebu mengatakan pelantikan bupati/wakil bupati Jayawijaya hasil pemilihan langsung yang baru pertama kalinya dilakukan itu merupakan sejarah bagi rakyat Papua, khususnya warga masyarakat Jayawijaya. "Saya sangat bangga dengan pelantikan kali ini karena bupati dan wakil bupati terpilih yang akan memimpin Jayawijaya periode 5 tahun mendatang adalah orang-orang muda," tegas kaka Bas.
Dikatakan, hidup saudara harus menjadi teladan bagi seluruh aparatur pemerintahan dan rakyat Jayawijaya. Kata-kata yang diucapkan oleh seorang pemimpin harus kata-kata yang memimpin, membangun, menghibur dan kata yang membawa damai. "Apa yang saudara ucapkan harus berwujud dalam tindakan-tindakan yang penuh kasih yang mampu mengangkat warga masyarakat dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang sudah lama diderita oleh rakyat," ujarnya.
"Saudara-saudara harus setia kepada Tuhan, setia kepada rakyat dan setia kepada NKRI dan di atas segalanya dengan menjalani hidup yang kudus dan suci," tutur Bas.
Banyaknya persoalan yang terjadi di Papua seperti HIV/AIDS menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi seluruh orang Papua dimasa sekarang karena hidup tidak kudus dan tidak takut Tuhan, bahkan korupsi membuat pembangunan dan pelayanan kepada rakyat macet karena pemimpinnya hidup tidak kudus dan tidak takut akan Tuhan.
"Oleh karena itu saya mengajak kepada bupati/wakil bupati Jayawijaya terpilih, dapat menempatkan kekudusan dan kesucian hidup di tempat yang paling tinggi," ujarnya. Ada tiga indikator yang bisa digunakan untuk meniai pemerintahan di provinsi Papua yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Pertama program pembangunan pemerintah daerah secara spesifik difokuskan dilaksanakan dikampung-kampung dimana sebagian masyarakat tinggal disana. Kedua aparatur pemerintah lebih banyak bekerja bersama masyarakat di kampung dan yang ketiga struktur APBD pemerintah daerah berbentuk piramida, dengan bagian yang paling kecil di atas, ditujukan untuk belanja pegawai dan administrasi pemerintahan dan bagian terbesar dibawahnya digunakan secara langsung untuk membiayai program pembangunan masyarakat di kampung-kampung, melalui dana block grand sebesar Rp. 100 Juta yang dimulai sejak tahun 2007," tutur kaka Bas.
Sementara itu dalam acara syukuran yang dilaksanakan di lapangan Sinapuk dan dihadiri tak kurang dari 10 ribu massa, Jhon Wetipo bersama Jhon Banua menyatakan tekadnya untuk menindak lanjuti janjinya pada masa kampanye beberapa waktu lalu. "Masyarakat akan dibebaskan dari biaya pendidikan, kesehatan dan beras raskin, karena semua itu sudah dibiayai melalui dana Otsus," tegas Wempi yang mendapat aplaus dari massa yang hadir.
Pihaknya tidak segan-segan untuk menindak tegas bagi aparatur yang melakukan korupsi, karena tindakan itu menyengsarakan masyarakat, apalagi kabupaten Jayawijya selaku kabupaten induk yang memekarkan kabupaten lain terlihat monoton tak banyak pembangunan yang dirasakan masyarakat, padahal dana otsus sudah mengalir trilyunan rupiah namun hasilnya tidak ada.
Meski demikian selaku pemimpin di Jayawijaya saya sangat mengharapkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat untuk mencapai hari esok yang lebih baik dari hari ini sesuai motto Jayawijaya "Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo"," tegas bupati Wempi yang diiyakan Jhon Banua.
Kepada para kandidat dan tim sukses pasangan lain saya mengajak untuk melupakan peristiwa pilkada lalu dan merapatkan barisan untuk membangun Jayawijaya demi kesejahteraan rakyatnya," ujarnya.
Dalam akhir arahannya Wempi Wetipo/Jhon Banua berpesan kepada warga masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi Jayawijaya agar senantiasa aman dan kondisif. "Dengan situasi yang aman dan kondusif, pemerintah dan warga masyarakat akan dapat melaksanakan aktifitasnya secara baik tanpa mengalami suatu kendala," tandasnya. (jk)

"Mudah-mudahan Tak Ada Apa-apa"


*Amankan Natal, Polda Siagakan 600 Personel
(Di Tiap Polres Disiapkan 2/3 Kekuatan)
JAYAPURA-Kendati situasi Kamtibmas di Papua menjelang perayaan Natal, tetap aman dan kondusif, namun jajaran Polda Papua tetap melakukan pengamanan ekstra, guna memberikan rasa aman bagi warga yang merayakan natal.
Untuk mengamankan perayaan Hari Raya Natal Tahun 2008, Polda Papua secara khusus menyiapkan 600 personelnya.
"Untuk di Polda, kita siapkan 600 personel untuk mengamankan perayaan Natal,"kata Kapolda Papua Irjen Pol Drs Bagus Ekodanto kepada wartawan usai memimpin gelar pasukan dalam Operasi Lilin Tahun 2008 yang diikuti Polri, TNI UA, TNI AD dan TNI AL di Lapangan PTC, Entrop, Selasa (23/12) kemarin.
Selain itu, kata kapolda, di masing-masing Polresta/Polres juga disiapkan 2/3 kekuatan personel dalam membantu pengamanan Natal tersebut.
Yang jelas, pihaknya sudah menyiapkan personel untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan pada saat umat Kristiani di seluruh dunia, khususnya di Papua.
Dan, pihaknya berharap dalam perayaan Natal tahun ini tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, atau hal-hal yang mengganggu situasi kamtibmas di Papua. "Mudah-mudahan, tidak ada apa-apa," harapnya.
Dalam pengamanan hari raya Natal ini, pihaknya akan menempatkan personel di beberapa lokasi antara lain tempat ibadah, tempat hiburan atau tempat rekreasi dan keramaian, sehingga masyarakat dapat melaksanakan ibadah Natal.
Apalagi, lanjut Kapolda, masing-masing Polres dan Polresta juga mengembangkan pengamanan yang melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemuda non Kristen untuk membantu pengamanan Natal tahun ini.
"Jadi, di masing-masing Polres dan polresta dikembangkan pengamanan dengan melibatkan pemuda non Kristen," ujarnya.
Kapolda menambahkan dalam pengamanan Natal tahun ini, tidak ada titik rawan, namun pihaknya tetap mewaspadainya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.(bat)

22 Desember, 2008

AWPA (Sydney) letter to SBY

Dec 20, 2008, 18:22

Email this article
Printer friendly page
Australia West Papua Association (Sydney)
PO Box 28, Spit Junction
NSW, Australia 2088

20 December 2008


President Susilo Bambang Yudoyono
Presidential Palace
Jl. Medan Merdeka Utara
Jakarta Pusat 10010
Republic of Indonesia

Dear President Yudoyono,


I am writing to concerning the arrest of Buchtar Tabuni and Sebby Sambom by the police in West Papua. Mr. Tabuni is a human rights activist and he has been involved in organising a number of peaceful demonstrations in West Papua. The most recent one was in support of the launch of the International Parliamentarians for West Papua in London in October of this year. Mr. Tabuni has been arrested merely for peacefully expressing his political views.


Sebby Sambom was arrested in Sentani - Jayapura after giving a press conference where he called for the release of Buchtar Tabuni from police custody. Both men have been jailed solely for peacefully expressing their right to an opinion. We are also concerned that they may be ill-treated whilst in custody.


I am writing to you to urge you to immediately release Buchtar Tabuni and Sebby Sambom from custody and asking that all charges against Buchtar Tabuni and Sebby Sambom should be dropped.


We also urge you to release all political prisoners in West Papua as a sign of good faith to the West Papuan people.

Yours sincerely



Joe Collins
Secretary
AWPA (Sydney)
---------------------------------


Copies to


1. Mr. Susilo Bambang Yudoyono
President
Republic of Indonesia
Presidential Palace
Jl. Medan Merdeka Utara
Jakarta Pusat 10010
INDONESIA
Fax: + 62 21 231 41 38, 345 2685
Email: presiden@ri.go.id

2. Prime Minister Kevin Rudd
PO Box 6022
House of Representatives
Parliament House
Canberra ACT 2600
Fax: (02) 6273 4100

3.The Hon Steven Smith MP
Minister for Foreign Affairs
PO Box 6022
House of Representatives
Parliament House
Canberra ACT 2600
Fax: (02) 6273 4112
Email: Stephen.Smith.MP@aph.gov.au


4. Australian Embassy Jakarta
Jalan H.R. Rasuna Said Kav C 15-16
Jakarta Selatan 12940
Indonesia
Fax +62 21 2550 5467

5. Indonesian Embassy Canberra
8 Darwin Avenue
Yarralumla
ACT 2600
Fax. + 61 2 - 62736017


6.Mr. Abdul Hakim Garuda Nusantara
Chairperson
KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 3925230
Fax: +62 21 3151042/3925227
E-mail: info@komnasham.or.id

UPDATE (Indonesia): Another activist arrested for holding a peaceful protest

By WPNews
Dec 21, 2008, 02:21

Email this article
Printer friendly page
ASIAN HUMAN RIGHTS COMMISSION - URGENT APPEALS PROGRAMME

Urgent Appeal Update: AHRC-UAU-071-2008

20 December 2008
[RE: Re: AHRC-UAC-262-2008: INDONESIA: Rights activist Buktar Tabuni arrested after peaceful protests]
---------------------------------------------------------------------
INDONESIA: Another activist arrested for holding a peaceful protest

ISSUES: Human rights defenders; arbitrary arrest and detention; administration of justice
---------------------------------------------------------------------

Dear friends,

The Asian Human Rights Commission (AHRC) regrets to inform you that another activist has been arrested and charged with subversion over his role in organizing a peaceful protest two months ago. His arrest took place as he and his colleagues had just concluded a press conference calling for the release of an activist whom the police had earlier arrested in connection with the protest.

UPDATED INFORMATION:

As mentioned in our previous appeal (AHRC-UAC-262-2008), activist Mr. Buchtar Tabuni had been arrested on 3 December 2008. He has been charged with treason and his arrest was in connection with the peaceful protest he and his colleagues have helped organized two months ago, October 16.

A few days after Tabuni's arrest, activist Mr. Seblom Sambom, was also arrested at around 11:30am on 17 December 2008 in Sentani – Jayapura in the Theys Eluay Memorial park. At the time of his arrest, Sambom had just concluded a press conference they had conducted which calls for the release of Tabuni. The arresting policemen, the Papuan Police Criminal Investigation Division (CID), had taken him into their custody without showing to him any arrest warrants. It was learned later though that he has been charge with subversion in connection with the October 16 protest.

At the time of his arrest, the Papuan Police CID arrived on the scene and had immediately proceeded to arrest Sambom. No explanation was given to him as to the nature of charges laid on him nor was he informed why he is being arrested. The police, too, did not provide him any answer to questions he and others have asked.

Sambom is a human rights activist and is also a member of the committee of International Parliamentarians for West Papua in Papua. He has since been an outspoken supporter of the Papuan's struggle for self determination and independence.

On October 16, 2008, both Tabuni and Sambom helped organize a peaceful demonstration supporting the International Parliamentarians for West Papua (IPWP) in London. He had organized the said protest in cooperation with Tabuni.

After his arrest, Sambom was taken to the police headquarters. They had arrived there at about 1:20 pm. He was immediately taken to the investigation room where he was subjected for questioning for more than four hours consecutively.

The investigation of Sambom was closed to the public and the police as well had refused to answer any inquiries about the arrest. They also did not disclose any information to any media organizations there. According to the information given by Sambom’s lawyers Iwan Niode and Latifah Anum Siregar, the arrest was due to his role in organizing the October 16 protest.

ADDITIONAL INFORMATION:

The International Parliamentarians for West Papua (IPWP) was launched at the Houses of Commons, London on 15 October 2008. The event was a historical international gathering of Parliamentarians, in support of self determination for the native people of West Papua. The launch in Parliament was co-hosted by Andrew Smith MP and Lord Harries. The aim of the group is to coordinate international parliamentary action on West Papua and to generate support for the self determination of the now Indonesian province.

The demonstration held in support of the IPWP on October 16 in Papua was peaceful, and in accordance with domestic Indonesian law Law No. 9/1998 on freedom of expression, nevertheless the Indonesian security forces had used the said occasion in filing questionable charges of treason and subversion against those who organized the protest. It eventually resulted to the arrest of the activists there.

Prior to the arrest of these two activists though, on October 17, 2008, an activist Yosias Syet has also been murdered in his own home in Waibron, Jayapura Regency, Papua. For further details please read: AHRC-UAC-261-2008. Indicators suggest that the perpetrators were from the Indonesian security forces.

The alleged involvement of the Indonesian security forces into arrest, harassment, murder and torture of activists in Papua has been taking place in a systematic and in an alarming scale. The arrests are sanctioned by domestic Indonesian law, which criminalizes any "attempt to bring the territory of the state wholly or partially under foreign domination or to separate part thereof" (from article 106 of the Indonesian Penal Code)

In past cases of detention of rights activists in Papua, torture has been frequently used during interrogation and detention. It is hence plausible that Sambom could have had suffered from the same treatment during his current detention.


SUGGESTED ACTION:
Please write a letter to the concerned authorities below requesting for their appropriate intervention promptly. These activists should be released unconditionally and that charges laid on them are withdrawn.

The AHRC has also written to the UN Working Group on Arbitrary Detention and the Special Rapporteur on Human Rights Defenders calling for intervention in this case.

To support this appeal, please click here:

SAMPLE LETTER:

Dear __________,

Re: INDONESIA: Another activist arrested for holding a peaceful protest

Name of victim: Mr. Seblom Sambom, 30 years of age
Alleged perpetrators: Criminal Investigation Division of the Police in Papua
Date of incident: 17 December 2008 at 11:30am
Place of incident: Sentani, Jayapura, Papua

I am appalled to learn of the arrest of Mr. Seblom Sambom on 17 December 2008. According to the information that I have received, Sambom was taken into custody on charges of subversion. He was arrested by personnel from the Criminal Investigation Division of the Papuan police. No arrest warrant was presented at the time of the arrest, and Sambom is currently being held in detention.

Sambom is a devoted rights activist, and a member of the committee of International Parliamentarians for West Papua in Papua. In that capacity he has helped organize a demonstration in support of the International Parliamentarians for West Papua in London, on 16 October 2008.

The demonstration on October 16 was conducted in a peaceful manner, and was in accordance with the regulations found in domestic Indonesian law No. 9/1998 on freedom of expression. Despite this though, the said occasion had been used by the security forces of filing questionable charges of treason and subversion on activist which also resulted to Sambom arrest and detention since 17 December 2008.

First, I urge you to ensure that Sambom be immediately and unconditionally released from custody. I am deeply concerned that unless he is released and charges withdrawn, there is likelihood that he would be subjected to torture. Further, the charges against him should be dropped, since he was acting in accordance with domestic Indonesian law when organizing the demonstration on October 16.

Further I want to draw your attention to the pressing need for a reform of the Indonesian Penal Code, especially with regards to article 106. This article is clearly conflicting with fundamental freedoms of the individual, such as the freedom of expression. Additionally, the article is in contradiction with domestic Indonesian law.

Voicing one's political opinion is a fundamental freedom, but one which is frequently denied the indigenous population of Papua. This is a very serious concern, which I trust that you take seriously.


Yours sincerely;

----------------
PLEASE SEND YOUR LETTERS TO:

1. Irjen Polisi Drs. F.X. Bagus Ekodanto
Chief of the Papuan Regional Police
Kepolisian Daerah Papua
Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8
Jayapura
INDONESIA
Tel: +62 967 33317 / 31835

2. R. Widyopramono SH,M.Hum.
Kejaksaan Tinggi Papua
Jl. Anggrek No.6 Tj. Ria
Jayapura
INDONESIA
Tel: +62 967 542764 / 541130

3. Paulus Waterpauw,
Director of the Criminal Unit
Papua Regional Police
Jl. Samratulangi
No. 8 Jayapura
INDONESIA
Tel: + 62 967 531834

4. Mr. Hendarman Supandji
Attorney General
Kejaksaan Agung RI
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1
Jakarta Selatan
INDONESIA
Fax: + 62 21 7250213
Tel: + 62 21 7221337, 7397602
E-mail: postmaster@kejaksaan.or.id

5. Gen. Bambang Hendarso Danuri
Chief of National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta Selatan
INDONESIA
Fax: +62 21 720 7277
Tel: +62 21 721 8012
Email: polri@polri.go.id

6. Mr. Andi Matalatta
Minister of Justice and Human Rights
JI. H.R. Rosuna Said Kav. 6-7
Kuningan, Jakarta Selatan
INDONESIA
Fax: +62 21 525 3095

7. Mr. Susilo Bambang Yudoyono
President
Republic of Indonesia
Presidential Palace
Jl. Medan Merdeka Utara
Jakarta Pusat 10010
INDONESIA
Fax: + 62 21 231 41 38, 345 2685, 345 7782
Tel: + 62 21 3845627 ext 1003
E-mail: presiden@ri.go.id

8. Mr. Ifdhal Kasim
Chairperson
KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Fax: +62 21 3151042/3925227
Tel: +62 21 3925230
E-mail: info@komnasham.or.id.


Thank you.

Urgent Appeals Programme
Asian Human Rights Commission (ua@ahrc.asia)








-----------------------------
Asian Human Rights Commission
19/F, Go-Up Commercial Building,
998 Canton Road, Kowloon, Hongkong S.A.R.
Tel: +(852) - 2698-6339 Fax: +(852) - 2698-6367


Please consider the environment before printing this email.


Auckland Indonesia Human Rights Committee

By Maire
Dec 23, 2008, 03:38

Email this article
Printer friendly page
Auckland Indonesia Human Rights Committee,
Box 68-419,
Auckland

21 December, 2008


Mr. Susilo Bambang Yudhoyono
President,Republic of Indonesia
Presidential Palace,
Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat 10010
INDONESIA
Fax: + 62 21 231 41 38, 345 2685, 345 7782


Dear President Yudhoyono,


We were deeply concerned to learn of the arrest of Mr Buchtar Tabuni on the 3rd of December 2008 in Sentani, Jayapura. We understand that Mr Sebby Sambom was also arrested while giving a press conference during which he called for the release of Mr Buchtar Tabuni.


We understand that Mr Tabuni was arrested by personnel from the C.I.D. of the Papuan police, that no arrest warrant was presented at the time of the arrest, and that Mr. Tabuni is still being held in detention.

We are particularly concerned to hear that Mr Tabuni may face very serious charges including charges of subversion under articles 106, 110, 160, 212 and 216 of the Indonesian Penal Code.

Mr. Tabuni is an active human rights activist, and a student Association leader. He has
organised a number of peaceful demonstrations, the most recent one being in support of the International Parliamentarians for West Papua which held a meeting in London
on October 16, 2008.

We understand that Mr Tabuni and Mr Sambom have been jailed solely for peacefully expressing their right to an opinion. We believe this right is accorded to your citizens under Law 9/1998. This right is also guaranteed by the International Covenant on Civil and Political rights and by the Universal Declaration of Human Rights.

We are also concerned that they may be ill-treated whilst in custody. We therefore urge you to to immediately release Buchtar Tabuni and Sebby Sambom from custody and we ask that all charges against Buchtar Tabuni and Sebby Sambom should be dropped.


Yours sincerely,

Maire Leadbeater (for the Indonesia Human Rights Committee)


Copies to


Hon Murray McCully,

Minister of Foreign Affairs,

Parliament Buildings,

Wellington


Irjen Polisi Drs. F.X. Bagus Ekodanto
Chief of the Papuan Regional Police
Kepolisian Daerah Papua
Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8
Jayapura
INDONESIA


Paulus Waterpauw,
Director of the Criminal Unit
Papua Regional Police
Jl. Samratulangi
No. 8 Jayapura
INDONESIA
Tel: + 62 967 531834


Mr. Hendarman Supandji
Attorney General
Kejaksaan Agung RI
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1
Jakarta Selatan
INDONESIA
Fax: + 62 21 7250213


Mr. Ifdhal Kasim
Chairperson
KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Fax: +62 21 3151042/3925227
Tel: +62 21 3925230
E-mail: info@komnasham.or.id.

Benny Wenda Menyurat langsung Kepada President RI dan KAPOLRI Segera Bebaskan Sebby Sambom dan Buctar Tabuni

By WPNews
Dec 22, 2008, 03:43

Email this article
Printer friendly page
FREE WEST PAPUA CAMPAIGN
www.freewestpapua.org

P.O. Box 656, Oxford, OX3 3AP England, U.K.Tel: +44 (0) 845257 9145
office@freewestpapua.org

22 Desember 2008

Kepada Yth:
Bapak Susilo Bambang Yudoyono
Presiden Republik Indonesia
Istana Presiden
Jl. Medan Merdeka Utara
Jakarta Pusat 10010
INDONESIA
Tel: + 62 21 3845627 ext 1003
Fax: + 62 21 231 41 38, 345 2685, 345 7782
Email: presiden@ri.go.id


Indonesia mendiskriminasikan Bangsa Papua Barat atas nama demokrasi

Dengan hormat,

Menyusul surat saya yang pertama kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang pembebasan tanpa syarat Buchtar Tabuni, aktifis hak-hak asasi manusia dan pemimpin mahasiswa Papua Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Provinsi Papua, maka dengan surat yang kedua ini saya menyampaikan kembali permintaan yang sama yaitu pembebasan tanpa syarat Sebby Sambom, aktifis HAM Papua Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Papua.

Sebby Sambom di tangkap dengan alasan Makar atau subversi, sebuah alasan yang tidak berdasar menurut Deklarasi Universal HAM tanggal 10 Desember 1948 pasal 20 ayat 1 yang memberikan jaminan dalam hal menyampaikan kebebasan untuk berdemonstrasi, menyampaikan aspirasi dan juga kebebasan berorganisasi. Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 9 / 1998 juga menjamin tentang kebebasan berekspresi. Namun kondisi nyata di Papua membuktikan bahwa kedua hukum ini tidak dijamin atau tidak berlaku di Papua Barat.

Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni hanya sebatas meyampaikan aspirasi politik murni dalam orasi-orasi mereka. Kata-kata yang mereka gunakan dalam orasi aspirasi politik pada tanggal 16 Oktober 2008 adalah : hak menentukan nasib sendiri bangsa Papua Barat (right to self determination). Atau dengan kata lain Indonesia harus memberikan kebebasan bagi rakyat Papua Barat untuk melaksanakan REFERENDUM.

Sebelumnya Bucthar Tabuni ditangkap dengan alasan bahwa dia menjadi pemimpin demonstrasi dalam rangka mendukung Peluncuran International Parliamentarians for West Papua tanggal 16 Oktober 2008 yang kami selenggarakan di Gedung Parlemen Inggris London pada tanggal 15 Oktober 2008. Saya perlu memberikan klarifikasi yang sebenarnya bahwa kegiatan peluncuran International Parliamentarians for West Papua di London adalah kegiatan resmi All Party Parliamentary Group on West Papua yang telah terbentuk didalam parlemen Inggris sejak 2 tahun lalu.

Penangkapan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni dengan alasan MAKAR karena mendukung peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah tidak berdasar sama sekali dan tidak mengikuti prinsip-prinsip etika demokrasi .

Penanggung jawab peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah kami sendiri bersama-sama dengan seluruh anggota parlemen Inggris yang bergabung didalam All Party Parliamentary Group on West Papua yang berkedudukan di London dan bukan di Papua Barat. Sebby Sambom, Buchtar Tabuni dan seluruh rakyat Papua Barat yang berdemonstrasi dalam rangka mendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP) adalah bagian dari demokrasi dan apa yang mereka lakukan adalah hanya sebatas expresi diri masyarakat Papua Barat untuk mendukung Peluncuran IPWP di London.

Saya sangat menyayangkan sikap dan tindakan aparat Kepolisian Republik Indonesia yang telah memperlakukan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni sebagai seorang kriminal yang dianggap MAKAR. Hal ini sangat melukai hati bangsa Papua Barat yang cinta damai.

Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni bukan pelaku MAKAR dan KRIMINAL. Mereka adalah pembela bangsa Papua Barat yang tertindas dan penegak demokrasi di Tanah Papua Barat.

Oleh karena itu maka saya minta agar Bapak membebaskan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni segera tanpa syarat.

Hormat Saya,



Benny Wenda
Pemimpin Papua Merdeka di Inggris


Tembusan Yth:

1. Bpk. Bambang Hendarso Danuri
KAPOLRI
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: +62 21 721 8012
Fax: +62 21 720 7277
Email: polri@polri.go.id

2. Drs Bagus Ekodanto, KAPOLDA Papua
Jl. Samratulangi
No 8 Jayaura
Tel: + 62 967 531014
Fax: + 62 967 533763

3. Drs Paulus Waterpauw, Kepala Direskrim, Polda Papua
Jl. Samratulangi
No. 8 Jayapura
Tel: + 62 967 531834


4. Bpk. Hendarman Supandji
Jaksa Agung
Kejaksaan Agung RI
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: + 62 21 7221337, 7397602
Fax: + 62 21 7250213
Email: postmaster@kejaksaan.or.id


5. Bpk. Abdul Hakim Garuda Nusantara
KETUA KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 3925230
Fax: +62 21 3151042/3925227
E-mail: info@komnasham.or.id

6. Ms. Hina Jilani
Special Representative of the Secretary on the situation of human
rights defenders
Room 1-040, OHCHR-UNOG
1211 Geneva 10
Switzerland
Fax: +41 22 906 8670
E-mail: urgent-actions@ohchr.org

============================================================


FREE WEST PAPUA CAMPAIGN
www.freewestpapua.org

P.O. Box 656, Oxford, OX3 3AP England, U.K. Tel: +44 (0) 845257 9145
office@freewestpapua.org

22 Desember 2008

Kepada Yth:
Bpk. Bambang Hendarso Danuri
KAPOLRI
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: +62 21 721 8012
Fax: +62 21 720 7277
Email: polri@polri.go.id


Indonesia mendiskriminasikan Bangsa Papua Barat atas nama demokrasi

Dengan hormat,

Menyusul surat saya yang pertama kepada Bapak Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang pembebasan tanpa syarat Buchtar Tabuni, aktifis hak-hak asasi manusia dan pemimpin mahasiswa Papua Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Provinsi Papua, maka dengan surat yang kedua ini saya menyampaikan kembali permintaan yang sama yaitu pembebasan tanpa syarat Sebby Sambom, aktifis HAM Papua Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Papua.

Sebby Sambom di tangkap dengan alasan Makar atau subversi, sebuah alasan yang tidak berdasar menurut Deklarasi Universal HAM tanggal 10 Desember 1948 pasal 20 ayat 1 yang memberikan jaminan dalam hal menyampaikan kebebasan untuk berdemonstrasi, menyampaikan aspirasi dan juga kebebasan berorganisasi. Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 9 / 1998 juga menjamin tentang kebebasan berekspresi. Namun kondisi nyata di Papua membuktikan bahwa kedua hukum ini tidak dijamin atau tidak berlaku di Papua Barat.

Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni hanya sebatas meyampaikan aspirasi politik murni dalam orasi-orasi mereka. Kata-kata yang mereka gunakan dalam orasi aspirasi politik pada tanggal 16 Oktober 2008 adalah : hak menentukan nasib sendiri bangsa Papua Barat (right to self determination). Atau dengan kata lain Indonesia harus memberikan kebebasan bagi rakyat Papua Barat untuk melaksanakan REFERENDUM.

Sebelumnya Bucthar Tabuni ditangkap dengan alasan bahwa dia menjadi pemimpin demonstrasi dalam rangka mendukung Peluncuran International Parliamentarians for West Papua tanggal 16 Oktober 2008 yang kami selenggarakan di Gedung Parlemen Inggris London pada tanggal 15 Oktober 2008. Saya perlu memberikan klarifikasi yang sebenarnya bahwa kegiatan peluncuran International Parliamentarians for West Papua di London adalah kegiatan resmi All Party Parliamentary Group on West Papua yang telah terbentuk didalam parlemen Inggris sejak 2 tahun lalu.

Penangkapan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni dengan alasan MAKAR karena mendukung peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah tidak berdasar sama sekali dan tidak mengikuti prinsip-prinsip etika demokrasi .
Penanggung jawab peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah kami sendiri bersama-sama dengan seluruh anggota parlemen Inggris yang bergabung didalam All Party Parliamentary Group on West Papua yang berkedudukan di London dan bukan di Papua Barat. Sebby Sambom, Buchtar Tabuni dan seluruh rakyat Papua Barat yang berdemonstrasi dalam rangka mendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP) adalah bagian dari demokrasi dan apa yang mereka lakukan adalah hanya sebatas expresi diri masyarakat Papua Barat untuk mendukung Peluncuran IPWP di London.

Saya sangat menyayangkan sikap dan tindakan aparat Kepolisian Republik Indonesia yang telah memperlakukan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni sebagai seorang kriminal yang dianggap MAKAR. Hal ini sangat melukai hati bangsa Papua Barat yang cinta damai.

Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni bukan pelaku MAKAR dan KRIMINAL. Mereka adalah pembela bangsa Papua Barat yang tertindas dan penegak demokrasi di Tanah Papua Barat.

Oleh karena itu maka saya minta agar Bapak membebaskan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni segera tanpa syarat.

Hormat Saya,


Benny Wenda
Pemimpin Papua Merdeka di Inggris

Tembusan Yth:

1. Drs Bagus Ekodanto, KAPOLDA Papua
Jl. Samratulangi
No 8 Jayaura
Tel: + 62 967 531014
Fax: + 62 967 533763

2. Drs Paulus Waterpauw, Kepala Direskrim, Polda Papua
Jl. Samratulangi
No. 8 Jayapura
Tel: + 62 967 531834


3. Bpk. Hendarman Supandji
Jaksa Agung
Kejaksaan Agung RI
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: + 62 21 7221337, 7397602
Fax: + 62 21 7250213
Email: postmaster@kejaksaan.or.id

4. Bpk. Abdul Hakim Garuda Nusantara
KETUA KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 3925230
Fax: +62 21 3151042/3925227
E-mail: info@komnasham.or.id

5. Ms. Hina Jilani
Special Representative of the Secretary on the situation of human
rights defenders
Room 1-040, OHCHR-UNOG
1211 Geneva 10
Switzerland
Fax: +41 22 906 8670
E-mail: urgent-actions@ohchr.org

=======================================================


FREE WEST PAPUA CAMPAIGN
www.freewestpapua.org

P.O. Box 656, Oxford, OX3 3AP England, U.K. Tel: +44 (0) 845257 9145
office@freewestpapua.org

22 Desember 2008

Kepada Yth:
Drs Bagus Ekodanto, KAPOLDA Papua
Jl. Samratulangi
No 8 Jayaura
Tel: + 62 967 531014
Fax: + 62 967 533763


Indonesia mendiskriminasikan Bangsa Papua Barat atas nama demokrasi


Bapak Bagus Ekodanto,

Menyusul surat saya yang pertama kepada Bapak tentang pembebasan tanpa syarat Buchtar Tabuni, aktifis hak-hak asasi manusia dan pemimpin mahasiswa Papua Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Provinsi Papua yang Bapak pimpin, maka dengan surat yang kedua ini saya menyampaikan kembali permintaan yang sama yaitu pembebasan tanpa syarat Sebby Sambom, aktifis HAM Papua Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Papua.

Sebby Sambom di tangkap dengan alasan Makar atau subversi, sebuah alasan yang tidak berdasar menurut Deklarasi Universal HAM tanggal 10 Desember 1948 pasal 20 ayat 1 yang memberikan jaminan dalam hal menyampaikan kebebasan untuk berdemonstrasi, menyampaikan aspirasi dan juga kebebasan berorganisasi. Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 9 / 1998 juga menjamin tentang kebebasan berekspresi. Namun kondisi nyata di Papua membuktikan bahwa kedua hukum ini tidak dijamin atau tidak berlaku di Papua Barat.

Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni hanya sebatas meyampaikan aspirasi politik murni dalam orasi-orasi mereka. Kata-kata yang mereka gunakan dalam orasi aspirasi politik pada tanggal 16 Oktober 2008 adalah : hak menentukan nasib sendiri bangsa Papua Barat (right to self determination). Atau dengan kata lain Indonesia harus memberikan kebebasan bagi rakyat Papua Barat untuk melaksanakan REFERENDUM.

Sebelumnya Bucthar Tabuni ditangkap dengan alasan bahwa dia menjadi pemimpin demonstrasi dalam rangka mendukung Peluncuran International Parliamentarians for West Papua tanggal 16 Oktober 2008 yang kami selenggarakan di Gedung Parlemen Inggris London pada tanggal 15 Oktober 2008. Saya perlu memberikan klarifikasi yang sebenarnya bahwa kegiatan peluncuran International Parliamentarians for West Papua di London adalah kegiatan resmi All Party Parliamentary Group on West Papua yang telah terbentuk didalam parlemen Inggris sejak 2 tahun lalu.

Penangkapan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni dengan alasan MAKAR karena mendukung peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah tidak berdasar sama sekali dan tidak mengikuti prinsip-prinsip etika demokrasi .

Penanggung jawab peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah kami sendiri bersama-sama dengan seluruh anggota parlemen Inggris yang bergabung didalam All Party Parliamentary Group on West Papua yang berkedudukan di London dan bukan di Papua Barat. Sebby Sambom, Buchtar Tabuni dan seluruh rakyat Papua Barat yang berdemonstrasi dalam rangka mendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP) adalah bagian dari demokrasi dan apa yang mereka lakukan adalah hanya sebatas expresi diri masyarakat Papua Barat untuk mendukung Peluncuran IPWP di London.

Saya sangat menyayangkan sikap dan tindakan aparat Kepolisian Republik Indonesia yang telah memperlakukan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni sebagai seorang kriminal yang dianggap MAKAR. Hal ini sangat melukai hati bangsa Papua Barat yang cinta damai.

Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni bukan pelaku MAKAR dan KRIMINAL. Mereka adalah pembela bangsa Papua Barat yang tertindas dan penegak demokrasi di Tanah Papua Barat.

Oleh karena itu maka saya minta agar Bapak membebaskan Sebby Sambom dan Buchtar Tabuni segera tanpa syarat.


Hormat Saya,



Benny Wenda
Pemimpin Papua Merdeka di Inggris


Tembusan Yth:

1.Bpk. Bambang Hendarso Danuri
KAPOLRI
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: +62 21 721 8012
Fax: +62 21 720 7277
Email: polri@polri.go.id

2. Drs Paulus Waterpauw, Kepala Direskrim, Polda Papua
Jl. Samratulangi
No. 8 Jayapura
Tel: + 62 967 531834


3. Bpk. Hendarman Supandji
Jaksa Agung
Kejaksaan Agung RI
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: + 62 21 7221337, 7397602
Fax: + 62 21 7250213
Email: postmaster@kejaksaan.or.id


4. Bpk. Abdul Hakim Garuda Nusantara
KETUA KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 3925230
Fax: +62 21 3151042/3925227
E-mail: info@komnasham.or.id


5. Ms. Hina Jilani
Special Representative of the Secretary on the situation of human
rights defenders
Room 1-040, OHCHR-UNOG
1211 Geneva 10
Switzerland
Fax: +41 22 906 8670
E-mail: urgent-actions@ohchr.org

Mahasiswa Pendukung IPWP Tantang Dialog kepada POLDA Papua


*Albert: Polisi Seharusnya Tangkap Benny Wenda dan Andrew Smith
JAYAPURA-Tiga simpatisan International Parlemen for West Papua (IPWP), Albert Wanimbo selaku Ketua Tim Delegasi Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTP), Indonesia, Jefri Tabuni dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Apison Karoba selaku juru bicara Dewan Musyawarah Adat Koteka (DMAK), meminta (baca: tantang) aparat kepolisian bersedia melakukan dialog damai dan bermartabat guna menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi selama ini.
Dikatakan, dari sejumlah aksi demo yang sering dilakukan selama ini, salah satu tujuannya adalah meminta agar dilakukan dialog dan difasilitasi oleh DPR Papua.
"Kami pikir dialog adalah satu cara terbaik guna meluruskan apa yang menjadi perbedaan selama ini agar tidak ada lagi mahasiswa atau kaum muda yang jadi korban," ungkapnya saat bertandang ke redaksi Cenderawasih Pos, Ahad (21/12).
Dari dialog itu dikatakan Albert akan diketahui duduk permasalahan dan siapa yang wajib bertanggung jawab dari aksi selama ini. Sebab menurutnya, sejumlah aksi yang dilakukan IPWP merupakan bentuk apresiasi terhadap peluncuran IPWP di Inggris oleh Benny Kogoya selaku pemimpin Papua Merdeka di Inggris dan Andrew Smith (Ketua IPWP) di Inggris.
Albert melihat penangkapan Buchtar Tabuni Cs adalah salah alamat dan menyalahi aturan undang-undang yang ada, karenanya dalam dialog yang akan diwakili oleh kuasa hukum IPWP tersebut satu poin yang akan disampaikan adalah tetap meminta pembebasan Buchtar Tabuni Cs.
"Menurut hemat kami, orasi tersebut hanya mengekspresikan kegiatan peluncuran tersebut dan sama sekali tidak mengandung unsur perlawanan terhadap negara. Seharusnya aparat melihat ke sana," papar Albert.
Lebih detail dijelaskan, yang dilakukan Buchtar Cs pada 17 Oktober saat itu hanyalah orasi damai yang diisi doa dan penyampaian pendapat, tanpa disertai perlawanan terhadap aparat maupun pelarangan pembentangan bintang kejora sebagaimana diatur pada undang-undang nomor 77 tahun 2007, juga aksi penghasutan massa.
"Polisi seharusnya menangkap Benny Wenda dan Andrew Smith, karena merekalah otak dari semua ini dan kami di Papua hanya merespon," tutur Albert yang diiyakan kedua rekannya. Pria bertubuh bongsor yang sering mengenakan topi ini juga menyampaikan bahwa guna mengetahui persisnya apa yang terjadi dilapangan, ia menegaskan aparat kepolisian juga harus proaktif menghadirkan saksi, termasuk Kapolsekta Abepura, AKP Dominggus Rumaropen yang saat itu ditunjuk sebagai pemegang komando.
"Satu hal lain yang menurut saya penting adalah permasalahan yang terjadi saat ini adalah menyangkut politik dan alangkah baiknya diselesaikan dengan cara politik juga bukan dengan tindakan hukum," pintanya. Albert juga memberikan klarifikasi soal pernyataannya saat melakukan jumpa pers pasca penangkapan Sebby Sambom di lapangan makam Theys Eluay 17 Desember lalu yang mengeluarkan beberapa ancaman seperti bakal melumpuhkan Kota Jayapura, melakukan intelejen kota bahkan mengganggu aktifitas natal dan proses pemilu 2009 jika Buchtar Tabuni Cs tidak dibebaskan dengan syarat."Saya akui komentar tersebut keluar saat kepanikan dan ketegangan setelah menyaksikan rekan kami dibawa begitu saja dan saya berterima kasih atas masukan untuk tetap menghargai natal sebagai perayaan umat nasrani,." katanya menarik ucapan sebelumnya.(ade)

17 Desember, 2008

SEBI SEMBUN DITANGKAP DENGAN DUGAAN MAKAR SAAT DEMO PELUNCURAN IPWP


Jayapura, Aparat Kepolisian Daerah papua telah menangkap Sebi Sembun dengan dugaan melakukan makar dan penghasutan pada demo damai intenasional Parlemen For West Papua (IPWP) tanggal 16 oktober 2008 expo dijayapura papua, sebelumnya telah menagkap Buctar Tabuni sebagai koordinator dan selanjutnya kemarin Sebi Sambon ditangkap di posko makam theys h. heloay di sentani, selanjutnya digiring kepolda Papua untuk diproses.




Penangkapan Buktar Tabuni & Sebi sembun Cs Disesalkan

JAYAPURA- Ditangkapnya tiga pentolan aktivis yang kerap menyuarakan Papua Merdeka oleh Polda Papua dalam bulan Desember ini dan terakhir kemarin Rabu (17/12) kemarin, sangat disesalkan oleh Ketua Komisi F DPR Papua Ir Weynand Watori. Ia menilai penangkapan itu justru mencerminkan kurang dewasanya Polda dalam menangani masalah Papua. "Saya sangat menyesalkan sikap Polda Papua yang menangkap Buktar Cs itu, " tukasnya kepada Cenderawsih Pos kemarin.
Weynand mengatakan, penangkapan itu tidak semestinya dilakukan karena ketiga aktivis tersebut masing - masing Markus Haluk, Buktar Tabuni dan Seby Sambom yang ditangkap Rabu (17/12) kemarin hanya sebatas menyampaikan aspirasi bukan melakukan makar. " Nah sekarang persoalannya kalau ketiga aktivias ini dituduh makar, karena berbeda pendapat dengan pemerintah, lalu disatu sisi pemerintah juga melanggar hukum, apakah pemerintah juga di tuduh makar?," katanya.
Padahal ketiga aktivias itu sebenarnya mungkin hanya ingin berupaya menyampaikan hal - hal yang berkenaan dengan masalah HAM di Papua dan masih rendahnya kesejahteraan. "Kalau terus begini, lama - lama semua pemuda bahkan seluruh orang Papua yang berbeda pendapat bisa dituduh makar. Karena dalam hati mereka memang tidak setuju dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani soal-soal di Papua," paparnya.
Ia mengatakan, sikap Polda Papua yang demikian itu tidak akan mampu menyelesaikan masalah, mengingat di era demokrasi sekarang ini pendekatan dengan cara main tangkap dengan tuduhan makar sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan bisa jadi orang akan berbalik tanya apa sebenarnya definisi makar itu.
"Jadi kalau kita membaca undang-undang dan definisi makar itu, saya pikir terkait posisi tuduhan makar, kalau kita mau jujur sebenarnya pemerintah yang paling banyak melakukan tindakan makar," ujarnya. Sebab menurut dia pemerintah kerap kali melakukan pelanggaran terhadap undang - undang.
Menurut Weynand, pendekatan yang sekarang dilakukan oleh Polda itu adalah pendekatan yang keliru dan tidak benar, sebab kalau pemerintah hendak mengambil hati orang Papua, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan pembangunan dan pembinan secara sungguh - sungguh kepada orang Papua baik tentang social politik, hukum dan sebagainya. "Bukan dengan cara seperti ini. Itu sama dengan membangun kebencian di hati rakyat Papua," imbuhnya.
Pertanyaannya, apakah dengan menangkap ketiga aktivias itu akan menyelesaikan persoalan. "Belum tentu," imbuhnya lagi. Sebaliknya hal itu justru akan memperpanjang deretan luka, sakit hati dan dendam.
Untuk itu, kata Weynand, Polda harusnya menggunakan cara yang lebih cerdas dalam menyelesaikan persoalan di Papua. "Jangan pakai cara tempo dulu yang sudah lewat, Polri sekarang harusnya melakukan cara - cara persuasif," ujarnya.
Apalagi kata Weynand menurut Undang Undang 21 tentang Otsus tahun 2001, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Polda Papua dibawah kontrol Pemda dan harus berkoordinasi dengan semua lembaga.
Di bulan Desember dan mendekat hari Natal ini, harusnya membuat sesuatu yang membawa bahagia bagi orang Papua. bukan mendatangkan kesedihan seperti itu. "Yang pasti saya menyesalkan tindakan Polda dengan main tangkap seperti ini," tandasnya.(ta)



15 Desember, 2008

JEMAAT BAPTIS WILAYAH JAYAPURA - KEEROM MERAYAKAN HUT PGBP KE-42

Foto Perayaan HUT PGBP ke 42 di wilayah jayapura - keerom, minggu 14 desember 2008 di Gereja Baptis Yamako sentani










14 Desember, 2008

JEMAAT BAPTIS WILAYAH JAYAPURA-KEEROM MERAYAKAN HUT PGBP KE-42 DI GEREJA BAPTIS YAMAKO POS SENTANI


13 Desember, 2008

SAMBUTAN: KETUA UMUM BADAN PELAYAN PUSAT PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA BAPTIS PAPUA DALAM RANGKA HUT KE-42 TANGGAL 14 DESEMBER 2008


Oleh : Dumma Socratez Sofyan Yoman