Senin, Mei 18, 2009

Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)














Foto Orang Rp 5 Ribu, Foto Mumi Rp 20 Ribu
Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)

Seperti kata banyak orang, kunjungan Anda ke Papua belum lengkap kalau belum ke Wamena. Saya sudah membuktikan, ini bukan sekadar ungkapan, tapi fakta. Sebab, ibu kota Lembah Baliem ini memang menyimpan banyak cerita dan gambar. Dan, inilah pengalaman wartawan JPNN, NANY WIJAYA memotret di sana.

SEJAK puluhan tahun lalu, nama Lembah Baliem sudah terkenal. Bahkan, para ahli antropologi di Barat menyebutnya sebagai museum hidup. Sebab, sampai zaman sudah modern, suku yang hidup di kaki Pegunungan Jayawijaya itu masih mempertahankan budaya aslinya.

Sebelum 1970-an, pemerintah masih mengizinkan orang asing melakukan penelitian antropologi di daerah tersebut. Inilah sebabnya, mengapa Dani menjadi suku yang paling banyak disebut dalam buku-buku dan tesis-tesis antropologi.

Tetapi, penelitian itu sempat dilarang selama beberapa dekade, setelah terjadi dua peristiwa menghebohkan. Yang pertama, karena hilangnya Michael Rockefeller, anak kesayangan orang terkaya di dunia David Rockefeller, ketika berkunjung ke Lembah Baliem. Kedua, setelah terjadinya pernikahan paling kontroversial antara Obahorok Doga, kepala suku Dani dengan Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika Serikat yang mengaku sebagai antropolog.

Dari banyak suku yang hidup di Papua, nama Dani memang paling dikenal. Bukan karena suku ini yang paling banyak diteliti, tetapi karena suku ini paling gemar berperang. Hal itulah yang kemudian menjadikan suku ini paling banyak diteliti antropolog. Karena itu pula, suku tersebut mendapat julukan The Headhunter. Si pemburu kepala.

Gelar itulah, tampaknya, yang membuat Sargent datang ke Wamena dan kemudian menawarkan diri untuk menjadi istri Obahorok, yang ketika itu sudah punya 10 istri. Tawaran Sargent itu tentu menjadi kejutan yang menggembirakan bagi Obahorok, istri-istrinya, dan seluruh warga Dani. Sebagai wujud kegembiraan mereka, digelarlah wam mawe (pesta pernikahan) besar-besaran selama 10 hari 10 malam. Lebih dari 60 babi disembelih dan dibakar dalam pesta itu.

Sebagaimana pengantin suku Dani, Sargent pun kabarnya juga bertelanjang dada dan mengenakan yokal (rok pengantin perempuan).

Sesudahnya, dia juga tidur sebagai suami istri. Dan seusai pesta pun, Sargent pergi ke ladang sebagaimana istri-istri Obahorok yang lain.

Sayangnya, pernikahan yang menghebohkan itu tak berlangsung lama. Dua bulan berselang, setelah merasa punya cukup koleksi foto dan wawancara, Sargent menghilang. Alasannya ketika itu, diusir polisi.

Belakangan terungkap, Sargent menggunakan pernikahan itu sebagai alat untuk melengkapi penelitiannya. Sebab, pada 1974 dia merilis buku berjudul People of the Valley. Sejak itu Sargent tak pernah lagi bisa masuk Indonesia. Sejak itu pula orang tak pernah lagi mendengar tentang Obahorok.

Itu sebabnya, ketika berkunjung ke Wamena, saya tidak berusaha mencari jejak Obahorok atau orang-orang yang pernah hadir di pernikahan paling kontroversial itu. Selain karena tidak yakin bahwa Obahorok masih hidup, juga karena saya cuma punya waktu dua hari.

Semula saya berpikir waktu dua hari terlalu banyak untuk berkunjung ke Wamena. Sekarang saya menyesal, karena seminggu pun bukan waktu yang cukup untuk mengeksplorasi Lembah Baliem dan suku Dani-nya. Sebab, sampai sekarang pun masih cukup banyak warga Dani yang hidup dengan tradisi aslinya: Telanjang, kaum pria berkoteka, hidup di rumah adat, dan menjalankan tradisi potong jari dan potong telinga.

Orang-orang Dani yang masih hidup seperti itu bisa ditemui di Desa Kurulu, sekitar 45 menit dari Kota Wamena. Jangan dibayangkan bahwa mereka tinggal di gunung-gunung, jauh dari kehidupan modern.

Mereka tinggal di satu kampung yang hanya terdiri atas sekitar 10 honai (rumah adat yang terbuat dari ijuk). Kampung itu terletak di tepi jalan raya yang beraspal dan mudah dijangkau dengan mobil. Meski masih hidup secara primitif, mereka tidak anti kepada orang lain yang sudah berpakaian. Bahkan, mereka senang kalau ada “orang asing” (baca: bukan orang Wamena) berkunjung ke kampungnya. Sebab, itu berarti penghasilan bagi mereka.

Ketika berangkat ke Papua, seorang teman saya, fotografer, mengingatkan saya agar membawa uang seribuan (Rp 1.000) dalam jumlah banyak. Sebab, orang-orang asli itu akan meminta bayaran bila difoto. “Seribu satu kali jepret,” kata teman tadi.

Saya tidak membantah anjuran itu, mengingat ini kunjungan pertama saya ke Wamena. Menjelang berangkat, saya menyiapkan 100 lembar uang seribuan yang masih gres, baru. Tetapi, saya juga membawa cukup banyak uang Rp 5 ribuan, Rp 10 ribuan, dan Rp 20 ribuan. Siapa tahu saya butuhkan!

Dengan ditemani Bertho, sopir mobil sewaan, dan Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group di Papua), saya memasuki kampung itu.

Di mulut kampung, saya sudah disambut seorang lelaki setengah baya yang wajahnya menyeramkan, mengenakan topi adat dan koteka. Saya tidak paham apa yang dia katakan, seperti juga dia tidak paham ucapan saya.

Komunikasi antara kami mulai terjalin ketika seorang wanita yang berpakaian lengkap, tanpa alas kaki, datang mendekat. “Mau lihat mumi ya” sapanya.

Bertho mengiyakan. Tanpa bertanya lagi, wanita itu -dengan diiringi lelaki berkoteka tadi- lantas mengantar kami ke sebuah gubuk di pojok kampung. Di situ ada tiga lelaki yang juga sudah berumur. Mereka juga telanjang, berkoteka, dan mengenakan ikat kepala tradisional.

Melihat pemandangan yang langka itu, tangan saya bergerak mengangkat kamera. Eh, dengan cepat salah seorang dari ketiga lelaki itu bilang, “Lima ribu satu foto. Kalau mumi 20 ribu. “Kok naik? Kata teman saya, hanya Rp 1.000,” kata teman saya. “Tidak boleh lagi seribu. Itu dulu, sekarang kan harga barang-barang sudah naik semua,” jawab salah seorang dari mereka. Wah, ternyata yang primitif cuma cara berpakaiannya. Soal uang, ternyata mereka tidak lagi primitif.

Dari honai yang ada di pojok kampung, lelaki termuda dari tiga orang tadi mengeluarkan sesosok mumi lelaki dalam keadaan duduk. Kabarnya, mumi itu sudah berumur 350 tahun. Keadaannya sudah kering seperti kayu.

Setelah beberapa jepretan, mumi dikembalikan ke kotaknya yang ada di dalam honai. Saya ikuti masuk ke dalam rumah adat dari papan, beratap ijuk, berlantai jerami, dan sangat gelap itu. Bapak tadi tidak keberatan, bahkan mempersilakan saya memotret mumi dan “rumahnya” yang berbentuk lemari kayu yang menggantung.

Yang mengejutkan saya, di “rumah” mumi itu tergolek satu kardus bekas kotak mi instan. Di sudut lain duduk seorang lelaki berumur sekitar 40-an dengan pakaian lengkap (celana panjang dan kaus berkerah) sambil mengisap rokok berfilter. Di samping lelaki itu terdapat secangkir kopi dan sebungkus rokok berfilter.

Meski agak heran, saya tidak bertanya tentang hal itu. Setelah beberapa kali jepretan, saya merangkak keluar dari honai yang pintunya sangat pendek.

Di luar honai ternyata sudah berkumpul banyak orang. Ada yang sangat tua, ada yang setengah tua, ada yang masih muda, ada pula anak-anak. Ada lelaki, ada wanita. Semua lelakinya hanya mengenakan koteka. Yang tua membawa tongkat panjang menyerupai tombak. Kaum wanitanya bertelanjang dada. Bagian bawahnya bervariasi. Ada yang ditutup dengan rok, ada pula yang hanya mengenakan rumbai-rumbai dari akar pohon.

Melihat saya mengarahkan kamera, serentak mereka bilang, “Bayar, bayar”. Karena objek seperti mereka tak mudah didapat, saya pun mengangguk. Maka beberapa orang pun berjajar. Kaum lelakinya -yang tua sampai anak-anak- berkumpul dengan sesamanya. Yang perempuan juga begitu. Kemudian yang merasa satu keluarga, juga berpose dengan keluarganya.

Setelah beberapa jepretan, tibalah saatnya membayar. Dan, inilah pengalaman paling unik bagi saya. Sebab, masing-masing tahu persis berapa kali saya menjepretnya. Kok tahu?

“Cuma sekali kok motretnya. Yang lain itu tidak jadi,” kata Suyoto yang mendampingi saya mencoba “berhemat”. Mereka tidak percaya. “Dari bunyik kliknya kan bisa dihitung,” jawab salah seorang dari mereka.

“Klik itu tadi cuma untuk mencoba kamera. Kan harus difokuskan dulu. Jadi tidak ada fotonya,” kilah Suyoto. He he.. Mereka tetap tidak percaya dan ngotot minta dibayar.

Sekali lagi Suyoto berupaya menawar. “Lima ribu untuk semuanya, ya. Wah, mereka langsung menjawab serempak, “Tidak bisa”. “Makanya, lain kali, sebelum memotret, ibu harus nego harganya dulu,” kata Bertho, yang asal Toraja.

Hal yang sama diingatkan oleh Joko, koresponden harian Cendrawasih Pos di Wamena yang menemani kami pada hari kedua di kota itu. Ketika tiba saatnya membayar, lembaran Rp 5 ribuan kami tidak cukup. “Mau tidak dibayar dengan uang Rp 50 ribuan? Nanti dibagi sendiri untuk 10 orang,” tanya Suyoto. Mereka mengangguk. Tapi, saya heran, mengapa hal itu ditanyakan.

Jawabannya saya dapatkan saat kami dalam perjalanan meninggalkan Desa Kurulu, tempat kampung Dani itu berada. “Orang-orang itu banyak yang tidak bisa menghitung. Tahunya, uang Rp 10 ribu berwarna merah. Yang Rp 5 ribu berwarna merah. Jadi, kalau Rp 5 ribu dibayar dengan lembaran seribuan, ya mereka tidak mengerti,” jelas Bertho. (tulisan besok: pengalaman unik lain di Wamena)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar