Senin, Mei 18, 2009

Ke Wamena, Menikmati Udang Selingkuh BY .detty

Ke Wamena, Menikmati Udang Selingkuh

Mumi berusia 370 tahun itu dipayungi dua orang berkoteka.

Sudah waktunya makan siang ketika kami tiba di Wamena, Papua, pada pertengahan Desember tahun lalu. Sejenak melepas lelah, setelah berjam-jam terbang dari Jakarta menuju Sentani dilanjutkan dari Bandar Udara Sentani ke Wamena, dengan pesawat ATR 72-200 dari maskapai Triguna.

Rumah makan Blambangan, yang menurut kami paling bagus di daerah itu, menjadi sasaran kami untuk mengisi perut dan melepas dahaga. Rumah makan ini dilayani oleh gadis-gadis muda berpakaian modis. Karena masih flu, saya tak tertarik dengan sajian jus terong Belanda dan jus pokat. Saya memesan jeruk panas. Tanpa es, rasanya nikmat.

Saya mencoba mentimun dari kelompok lalapan. Rasanya manis. Juga wortelnya. Di sini tidak ada yang menggunakan pestisida.

"Oh, jadi tanaman organik, ya?" tanya saya.

"Ya, tanaman organik," ucap pemilik rumah makan itu. Esoknya, di pasar, kami melihat kubis alias kol sedikit berlubang-lubang alias dimakan ulat. Itu pertanda kol tidak disemprot dengan pestisida.

Makanan lain adalah ikan mujair goreng. Tapi yang paling nikmat adalah lauk utama: "udang selingkuh". Kenapa disebut udang selingkuh? Alasannya sederhana. Badannya memang udang, tapi sepit utamanya seperti sepit kepiting. Jadi perpaduan udang dengan kepiting, yang hidup di air tawar, terutama di Sungai Baliem yang mengalir di pinggir Wamena.

Jenis udang ini terdapat di Papua dan Australia. Ada yang besar, sebesar udang galah. Banyak yang kecil-kecil, yang kini banyak dibudidayakan di Pulau Jawa, yang dikenal sebagai lobster air tawar. Yang jelas rasanya amat manis, terutama yang sebesar jari orang dewasa. Saya coba yang besar, rasa manisnya agak kurang. Tapi secara keseluruhan nikmat. Apalagi cara penggorengannya memang cocok. Saya lihat minyaknya berwarna merah. Udangnya memang merah.

Sesampainya di Hotel Baliem Pilamo, kami hanya beristirahat sebentar.

"Sore biasanya hujan, Pak. Mumpung lagi cerah, kita langsung melihat mumi dan gua!" ucap Martin, yang menemani kami.

Dengan mobil Triton, yang cocok untuk daerah pegunungan, kami keluar dari kota sekitar 2 kilometer. Mobil memasuki jalan tanah yang mengeras. Setelah memarkir mobil di pelataran yang dikelilingi pohon-pohon besar, kami memasuki kompleks perumahan berpagar kayu, dengan pintu gerbangnya antik.

Sekelompok orang sedang membakar batu untuk memasak talas dan ubi jalar. Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa harus membakar batu dulu baru memasak talas? Api untuk memanaskan batu saja sudah mampu mematangkan talas. Tapi, ya, itulah adat mereka.

Mari kita beralih ke mumi, yang dipegangi seseorang sambil duduk dan bersembunyi di balik mumi. Dua orang dewasa mengenakan koteka memayunginya. Alex, seorang kepala suku, menjelaskan bahwa usia mumi itu sudah 370 tahun. Itu terlihat dari jumlah kalungnya yang dipasang setiap lima tahun.

Gerimis mulai turun. Kami memasuki "honai", rumah orang Wamena yang terbuka, tempat berkumpul kaum lelaki. Honai tempat menyimpan mumi itu khusus untuk kaum lelaki dewasa. Di sebelah kanannya, honai untuk perempuan berdekatan dengan honai untuk anak-anak.

Di honai untuk dapur dan gudang makanan, sekelompok ibu tua meminta rokok kepada saya. Untunglah teman saya membawa banyak rokok untuk disuguhkan kepada Alex dan kawan-kawan. Perbincangan pun berlangsung akrab diselingi tawa.

"Kalau mau 'begituan' gimana?" tanya saya kepada Alex tentang hubungan seks.
"Oh, tinggal kasih kode, pergi ke hutan!" jawabnya.
"Ini masih bisa?" tanya saya kepada orang tua di samping saya.
"Saya tidak bisa lagi!" jawabnya sambil tertawa.
"Kalau berfoto sama yang bergelantungan bagaimana?"

"Bisa Ibu, tapi yang tadi dibayar dulu," jawab Alex. Teman saya merogoh kocek Rp 250 ribu untuk melihat dan berfoto-foto dengan mumi. Untuk berfoto dengan ibu-ibu diperlukan Rp 100 ribu lagi.

Kembali ke penginapan, hujan turun.

Malam di Wamena ternyata alamiah sekali. Dinginnya bukan main. Wamena berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Sangat terasa dingin ketika malam tiba.

Keesokan harinya, seusai sarapan, saya sempatkan berjalan-jalan di sekitar hotel. Lalu dengan mobil Triton, yang di Wamena seharga Rp 400 juta padahal di Jakarta Rp 280 juta, kami keluar dari kota. Dalam perjalanan ini barulah terlihat betapa pentingnya penggunaan mobil tersebut. Dua kilometer jalanan masih bagus. Begitu berbelok ke kanan, melewati Sungai Baliem, jalanan sedikit menanjak dan menanjak lagi, melalui jalanan yang terbuat dari batu-batu. Jalanan mendaki terus, sampai ke puncak, tempat The Baliem Valley Resort, yang merupakan kerja sama Jerman-Indonesia.

Bangunan utama resor ini berupa bangunan kayu yang sedang direnovasi, agaknya yang menjadi kantor, pelayanan tamu, tempat makan, serta lobi yang memuat beragam patung dan ukiran, baik Asmat maupun dari Lembah Baliem. Di bangunan itu pula terdapat pelataran untuk memandang ke lembah, dan nun di kejauhan terlihat Kota Wamena. Di lobi ini pula dipajang kerangka kepala buaya besar, burung kasuari, serta sebuah lemari yang diisi beberapa puluh buku.

Berkunjung ke Wamena, tak afdal jika tak belanja untuk oleh-oleh pulang ke Jakarta. Karena itu, saya sempatkan pula mengunjungi pasar tradisional Wamena dengan naik becak. Dari hotel, ongkos normal Rp 8.000. Teman saya membayar Rp 50 ribu untuk dua becak.

Pasar masih sepi Minggu itu karena waktunya orang pergi ke gereja. Udang selingkuh yang ditawarkan seorang penjual tak menarik minat saya. Saya lebih tertarik hasil rajutan berwarna-warni yang ditawarkan seorang wanita muda. Saya beli satu walau harganya relatif mahal, Rp 200 ribu.

Suvenir? Tentu saya tak lupa. Di New Guinea Art Shop, toko suvenir dekat hotel, saya membeli tas kulit kayu, hiasan dinding, kalung dan gelang, serta sebuah patung seorang ibu yang menggendong bayinya. Harga patung ini lumayan: Rp 350. Semua itu kami bawa pulang, dengan pesawat jenis ATR 72-200. Berakhirlah perjalanan saya ke Wamena.

DEDES ERLINA, Penikmat Perjalanan, Tinggal di Jakarta

Perjalanan Saat Hamil

Selama hamil, bolehkah melakukan perjalanan? Tentu saja Anda tak mungkin mendaki gunung, menyusuri gua, atau bertualang ke tempat-tempat yang berbahaya saat hamil. Begitu juga, kebanyakan dokter menyarankan agar wanita hamil tidak melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria.

Tapi, jika berwisata ke pantai atau ke tempat-tempat yang tidak berbahaya, pada umumnya dokter mengizinkan dengan syarat tidak terdapat masalah dalam kehamilan Anda. Robin Elise Weiss, dokter spesialis kandungan di Louisville, Amerika Serikat, punya saran, jika Anda melakukan perjalanan dengan pesawat, mobil, atau perahu, perhatikan sejumlah hal agar perjalanan Anda nyaman dan aman.

Bawa Camilan
Ngemil selama terbang dengan pesawat atau perjalanan jauh dengan mobil dapat membantu Anda meyakinkan bahwa Anda tidak akan lapar.

Gerak Badan
Saat di dalam mobil atau pesawat udara, menggerak-gerakkan badan setiap beberapa jam merupakan sebuah keharusan. Ini akan membantu mencegah pegal-pegal dan darah menggumpal.

Cegah Dehidrasi
Wanita hamil membutuhkan banyak cairan. Perjalanan membuatnya sangat mudah mengalami dehidrasi. Bawalah minuman dalam botol.

Baju untuk Perjalanan
Pakailah baju yang cocok untuk perjalanan. Ketika terbang dengan pesawat atau mobil, Anda tidak akan selalu sempat mengontrol suhu.

Sementara itu, Charlie Easmon, dokter di sebuah rumah sakit swasta di London, Inggris, mengatakan bahwa wanita hamil bisa melakukan perjalanan secara aman, bahkan ke tempat yang eksotis. Tapi penting untuk menyadari sejumlah faktor, seperti asuransi, vaksinasi, dan obat-obatan.

Khusus perjalanan dengan pesawat, menurut Easmon, ada sejumlah aturan khusus yang mesti dipahami oleh wanita hamil. Peraturan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Internasional (IATA) menyebutkan bahwa wanita hamil boleh terbang dalam masa kehamilan 36 sampai 38 minggu jika waktu penerbangan tidak lebih dari empat jam. Namun, beberapa maskapai tidak mau mengangkut wanita yang usia kehamilannya telah mencapai 36 minggu. Begitu juga, biasanya perusahaan penerbangan menolak menerbangkan wanita hamil yang sebelumnya pernah melahirkan secara prematur atau memiliki penggumpalan darah di nadi betisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar